TUTUP TPL

DEMI TERWUJUDNYA KEDAULATAN RAKYAT

ATAS RUANG HIDUPNYA.

 

1. Pendahuluan

Kebijakan politik Indonesia pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus investasi asing yang masuk secara besar-besaran. Pemerintah ketika itu melahirkan berbagai undang-undang sektoral dengan watak swastanisasi, yang membuka ruang lebar bagi perusahaan-perusahaan besar menguasai sumber daya alam Indonesia. Konsekuensinya, banyak wilayah di Indonesia kemudian menjadi sasaran eksploitasi, termasuk Sumatera Utara.

Tapanuli Raya, yang kala itu dicap sebagai salah satu wilayah termiskin di Indonesia, dijadikan alasan pemerintah pusat untuk mendorong industrialisasi sebagai solusi. Salah satu tonggak industrialisasi tersebut adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Asahan dan Air Terjun Sigura-gura, yang menopang berdirinya PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) pada tahun 1976. Proyek ini menjadi salah satu simbol masuknya investasi asing berskala besar di wilayah tersebut.

Selang beberapa tahun kemudian, pada 1983, pemerintah kembali membuka pintu bagi investasi baru. Kali ini, izin penguasaan hutan diterbitkan untuk PT Inti Indorayon Utama (IIU), sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bidang industri pulp dan rayon. Perusahaan inilah yang kelak dikenal dengan nama PT Toba Pulp Lestari (TPL).

2. Rekam Jejak PT Inti Indorayon Utama (IIU) – PT Toba Pulp Lestari (TPL)

Lebih dari empat dekade kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL)—dahulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU)—di tanah Batak, Sumatera Utara, telah meninggalkan jejak penderitaan panjang bagi masyarakat adat. Harapan akan kesejahteraan dan kemajuan yang dijanjikan perusahaan ini sejak awal, ternyata berubah menjadi mimpi buruk yang seolah tidak pernah berakhir.

Sejak awal kehadirannya, suara penolakan sudah mengemuka. Kalangan akademisi, organisasi non-pemerintah, tokoh gereja, serta para pemerhati lingkungan menyatakan kekhawatiran bahwa perusahaan ini akan membawa dampak buruk bagi ekosistem Danau Toba, sekaligus berpotensi menciptakan konflik agraria dengan masyarakat adat. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.

Puncak keresahan terjadi pada tahun 1994. Ketika itu, tabung klorin milik perusahaan pecah dan menimbulkan bencana besar: ribuan masyarakat terpaksa mengungsi keluar dari kampungnya demi menyelamatkan diri. Tragedi ini memicu gelombang protes besar-besaran dari berbagai penjuru. Masyarakat adat, akademisi, gereja lintas iman, hingga kelompok masyarakat sipil bersatu menyuarakan tuntutan: PT Inti Indorayon Utama harus ditutup!

Tekanan publik yang begitu kuat akhirnya direspons pemerintah. Pada tahun 1999, Presiden B.J. Habibie mengambil langkah tegas dengan menutup sementara operasional PT IIU. Keputusan ini sempat memberi harapan bahwa penderitaan masyarakat adat akan berakhir.

Namun, harapan itu hanya bertahan sebentar. Pada tahun 2003, perusahaan kembali beroperasi dengan nama baru: PT Toba Pulp Lestari (TPL). Pemerintah pusat memberikan izin dengan pertimbangan adanya sejumlah komitmen perubahan yang diajukan oleh perusahaan. Paket kebijakan itu disebut sebagai “paradigma baru”, yang digadang-gadang akan menjawab kritik dan memperbaiki citra perusahaan di mata publik.

Sayangnya, yang disebut “paradigma baru” ternyata hanya sebatas slogan. Dalam kenyataan sehari-hari, masyarakat di sekitar wilayah konsesi masih terus menghadapi praktik perampasan tanah, kerusakan lingkungan, dan berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan dengan dalih investasi

3. Paradigma Baru dengan Sejuta Dosa TPL

Sudah 22 tahun sejak PT Inti Indorayon Utama berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Namun, hingga kini tidak ada tanda-tanda perubahan signifikan dalam aspek lingkungan, sosial, budaya, maupun ekonomi. Alih-alih memperbaiki kesalahan masa lalu, praktik-praktik merugikan yang dilakukan Indorayon justru berlanjut bahkan semakin memburuk di era TPL. Janji manis tentang “paradigma baru” terbukti hanya isapan jempol belaka.

Catatan yang dihimpun oleh Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menunjukkan bahwa hingga saat ini terdapat 19 komunitas masyarakat adat dengan jumlah sekitar 19.000 kepala keluarga atau sekitar 33.422,37 hektar wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi PT TPL. Artinya, puluhan ribu jiwa kini hidup dalam ketidakpastian, kehilangan hak atas tanah leluhur yang selama berabad-abad menjadi sumber penghidupan mereka.

Kerusakan ekologis pun tak terhindarkan. Operasional perusahaan yang menggunduli hutan alam Tano Batak seluas kurang lebih 62.000 hektar telah menimbulkan bencana demi bencana. Puluhan orang kehilangan nyawa, ratusan hektar lahan pertanian hancur, rumah-rumah rusak, dan pemukiman warga tak lagi aman dari ancaman. Selain itu tanah leluhur adalah entitas keberadaan mereka.

Lebih dari itu, perusahaan gagal menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengannya. Sejak kehadirannya, tercatat ada 502 orang yang mengalami kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, bahkan ada yang harus kehilangan nyawa. Kehadiran PT TPL bukan hanya memunculkan konflik vertikal antara perusahaan dengan masyarakat adat, tetapi juga konflik horizontal antarwarga sendiri. Relasi sosial di Tano Batak bergeser: gereja terbelah, adat istiadat tergerus, dan harmonisasi kekeluargaan porak-poranda.

Ironisnya, ketika banyak pihak menyoroti praktik-praktik perusahaan yang melanggar hak asasi manusia, PT TPL justru tidak menunjukkan itikad untuk berbenah. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan bahkan terlihat semakin agresif dan tidak bersahabat dengan masyarakat. Bukannya menghentikan praktik-praktik bermasalah, perusahaan justru memperluas penanaman eukaliptus hingga ke wilayah adat yang sudah jelas diakui oleh pemerintah.

4. Kasus-Kasus Kekerasan Terbaru

Kehadiran PT Toba Pulp Lestari tidak hanya meninggalkan luka lama, tetapi juga terus melahirkan tragedi-tragedi baru. Dalam 6 tahun terakhir, konflik antara perusahaan dan masyarakat adat kembali mengemuka. Alih-alih memperbaiki relasi, PT TPL justru semakin agresif.

4.1. Kekerasan terhadap Masyarakat Adat Nagasaribu, Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara

Pada awal tahun 2022, masyarakat adat Nagasaribu akhirnya mendapatkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. SK ini seharusnya menjadi dasar hukum yang kuat bagi masyarakat untuk menjaga wilayah adatnya. Namun, kenyataan berkata lain.

Pada 31 Januari 2025, PT TPL justru masuk ke wilayah adat Nagasaribu dan melakukan tindakan sepihak. Tanaman milik warga dirusak, lalu perusahaan melakukan penanaman eukaliptus di atas tanah adat. Peristiwa itu berujung pada tindakan kekerasan: dua orang warga mengalami luka-luka, satu di antaranya cukup serius.

Tidak berhenti di situ, PT TPL menutup akses jalan menuju hutan kemenyan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat. Selama lebih dari satu bulan penuh, warga dilarang masuk ke hutannya sendiri. Akibat penutupan itu, aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat lumpuh.

Desakan dari berbagai pihak—tokoh gereja, organisasi masyarakat sipil, hingga akademisi—akhirnya memaksa perusahaan membuka kembali portal jalan. Tetapi luka batin yang ditinggalkan tidak mudah disembuhkan. Lebih ironis lagi, alih-alih menghentikan tindakannya, perusahaan justru melaporkan dua orang warga ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan menghalangi aktivitas perusahaan. Kasus ini kini masih bergulir di kepolisian.

4.2. Kekerasan terhadap Masyarakat Adat Natinggir

Belum reda luka di Nagasaribu, tragedi baru kembali terjadi. Pada 7 Agustus 2025, masyarakat adat Ompu Raja Naso Malo Marhohos Pasaribu di Natinggir menghadapi serangan brutal. Sekitar 700 karyawan PT TPL mendatangi kampung mereka dan melakukan kekerasan secara membabi buta.

Akibat peristiwa itu:

  • Tiga orang warga mengalami luka-luka, satu di antaranya kritis.
  • Enam unit rumah rusak akibat dilempari batu.
  • 22 sepeda motor hancur parah.
  • Satu warung milik warga dijarah, menimbulkan kerugian sekitar Rp2,5 juta.
  • Tanaman jahe, jeruk, dan padi dirusak secara sengaja.
  • Anak-anak mengalami trauma karena saat pelemparan rumah, anak anak sedang berada didalam rumah.

Lebih memilukan lagi, setelah peristiwa itu, seluruh wilayah adat Natinggir ditanami eukaliptus oleh PT TPL Tak berhenti di situ, sebanyak 12 orang warga Natinggir kemudian dipanggil polisi karena dilaporkan oleh perusahaan dengan tuduhan pengrusakan. Bahkan, pada 16 Agustus 2025, dua pendeta yang hendak memberikan bantuan pastoral dilarang masuk oleh pihak perusahaan.

4.3. Peristiwa Kekerasan Natumingka (Desa Natumingka, Kec. Borbor, Kab Toba)

·         8 Mei 2021: PT Toba Pulp Lestari (TPL) mendatangi wilayah adat Natumingka dengan membawa lebih dari 500 orang. Pihak perusahaan melakukan penanaman paksa eukaliptus di tanah masyarakat adat Natumingka. Upaya penolakan yang dilakukan masyarakat menyebabkan 11 orang warga mengalami luka berat.

·         Tahun 2023: Pihak TPL kembali mencoba melakukan penanaman dan pemanenan di wilayah adat Natumingka. Masyarakat adat menolak dan berusaha menghentikan aktivitas tersebut. Namun, pihak perusahaan melakukan intimidasi sehingga terjadi keributan antara masyarakat adat dan perusahaan. Akibatnya, 4 orang anggota masyarakat adat dilaporkan oleh perusahaan ke Kepolisian Toba.

·         Tahun 2024–2025: Pihak TPL terus mencoba melakukan penanaman paksa, meskipun sudah ada kesepakatan tertulis antara masyarakat adat Natumingka, pihak kecamatan, kepolisian, TNI, dan TPL yang menegaskan agar penanaman paksa tidak lagi dilakukan. Namun, kesepakatan tersebut tetap diabaikan oleh pihak TPL.

4.4. Peristiwa kekerasan yang dialami Sihaporas (Desa Sihaporas, Kec Pematang Sidamanik, Kab Simalungun)

·         Tahun 2019: Masyarakat Adat Sihaporas yang sedang mengelola wilayah adat mengalami kriminalisasi oleh pihak PT TPL. Peristiwa tersebut berujung pada tindak kekerasan yang menyebabkan korban mengalami luka ringan dan trauma psikologis. Akibatnya, dua orang masyarakat adat Sihaporas—Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita—dilaporkan ke kepolisian. Keduanya divonis 9 bulan penjara dengan tuduhan melakukan kekerasan dan penganiayaan di muka umum.

·         Tahun 2022: Masyarakat Adat Sihaporas kembali mengalami intimidasi dan kekerasan ketika PT TPL melakukan penanaman paksa dan mencoba masuk ke wilayah adat. Dalam peristiwa ini, perusahaan melibatkan lebih dari 500 aparat kepolisian dan TNI untuk mengawal penanaman paksa tersebut.

·         Tahun 2024: Pada dini hari, sekitar 50 orang aparat kepolisian berpakaian preman bersama pihak PT TPL mendatangi pos/jaga tempat tinggal Masyarakat Adat Sihaporas. Sebanyak 10 orang warga (2 anak-anak dan 8 orang dewasa) mengalami penculikan, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Mereka disetrum, dipukul, ditendang, dan disayat, sehingga mengalami luka-luka serius. Dari peristiwa itu, empat orang anggota komunitas Sihaporas dibawa ke Polres Simalungun dan diproses hukum dengan tuduhan melakukan kekerasan dan penganiayaan. Hasilnya:

ü  2 orang dijatuhi hukuman 8 bulan penjara,

ü  1 orang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara,

ü  1 orang dijatuhi hukuman 2 tahun penjara.

ü  Hingga saat ini, salah satu dari mereka masih menjalani masa tahanan di Lapas Pematangsiantar, Sumatera Utara

4.5. Kekerasan yang dialami Dolok Parmonangan (Desa Pondok Buluh, Kec. Dolok Panribuan, Kab. Simalungun).

·         Tahun 2019: Tanaman ubi kayu berusia enam bulan milik Masyarakat Adat Dolok Parmonangan dirusak dan disemprot pestisida oleh pihak PT TPL dengan luas sekitar 10 hektare.

·         Tahun 2022: Humas PT TPL meminta masyarakat menghentikan pengelolaan tanah adat mereka. Peristiwa ini memicu aksi dorong-mendorong antara masyarakat adat dan pihak perusahaan di lapangan.

·         4 April 2023: Diduga pihak PT TPL melakukan pembakaran terhadap posko milik Masyarakat Adat Dolok Parmonangan yang biasa dijadikan tempat musyawarah bersama masyarakat.

·         22 Maret 2024 (pukul 09.00 WIB): Sorbatua Siallagan (65 tahun), pemimpin Masyarakat Adat Dolok Parmonangan, ditangkap dan dipenjara di Polda Sumut. Ia kemudian diadili oleh PN Simalungun dan divonis 2 tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

·         2 Desember 2024 (pukul 09.00 WIB): Dua orang masyarakat mengalami luka parah di bagian kepala akibat tindakan kekerasan oleh pihak PT TPL yang melakukan upaya penanaman paksa di sumber mata air milik masyarakat adat.

·         21 Januari 2025: PT TPL kembali melakukan penanaman paksa di perladangan masyarakat adat Dolok Parmonangan dan merusak berbagai tanaman milik warga, antara lain jagung, kopi, kemenyan, kemiri, durian, nanas, padi gogo, dan alpukat.

·         30 Januari 2025: Peristiwa serupa kembali terjadi. PT TPL melakukan perusakan tanaman masyarakat adat Dolok Parmonangan, seperti kopi, jagung, dan nanas, kali ini menggunakan alat berat.

·         Februari 2025: Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami kekerasan dan intimidasi ketika melakukan penanaman padi, jagung, dan tanaman lainnya. Pihak PT TPL juga mengusir masyarakat dengan dalih bahwa lahan tersebut merupakan konsesi perusahaan. Hingga kini, intimidasi dari PT TPL terus berlangsung. Bahkan, beberapa sungai dan sumber mata air masyarakat mengalami kekeringan akibat aktivitas perusahaan, dan kondisi tersebut masih berlanjut sampai saat ini.

5. Tuntutan Masyarakat

Serangkaian peristiwa di berbagai wilayah adat menunjukkan bahwa keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Kekerasan, intimidasi, perampasan tanah, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi dari masa ke masa. Jeritan hati, rasa terancam, ketidakberdayaan, serta hilangnya rasa aman mendorong masyarakat adat dan organisasi pendamping untuk menyuarakan tuntutan bersama.

Atas nama masyarakat terdampak—yakni Perwakilan Masyarakat Adat Dolok Parmonangan, Masyarakat Adat Sihaporas, Masyarakat Adat Natinggir, Masyarakat Adat Natumingka, bersama dengan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, serta Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Kapusin—kami mengajukan tuntutan sebagai berikut:

1.      Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) segera merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat/Presiden RI untuk menghentikan seluruh operasional PT TPL.

2.      DPR-RI segera merekomendasikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan adendum izin PT TPL, khususnya pada wilayah-wilayah adat yang masih berkonflik.

3.      DPR-RI segera mendesak pemerintah kabupaten di kawasan Danau Toba agar mengakui dan melindungi masyarakat adat beserta wilayah adatnya secara resmi.

4.      DPR-RI segera menyurati Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan pendekatan persuasif dan humanis terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan wilayahnya, serta menegakkan hukum secara adil terhadap masyarakat yang menjadi korban kekerasan PT TPL.

6. Penutup

Demikianlah tuntutan ini kami sampaikan, untuk mendapat perhatian dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang kami hormati. Besar harapan kami tuntutan ini segera mendapat respon.

Medan, 9 September 2025

Hormat kami,

1.      Pastor Walden Sitanggang (JPIC)

2.      Pastor Supryadi Pardosi (JPIC)

3.      Bruder  Sumitro Sihombing (JPIC)

4.      Pastor Moses Situmorang (JPIC)

5.      Mangitua Ambarita ( MA.Sihaporas)

6.      Sorbatua Siallagan (MA.Dolok Parmonangan)

7.      Raulina Saragih (MA. Natinggir)

8.      Hotna Panggabean ( MA. Natumingka)

9.      Rocky Pasaribu (KSPPM)

10.  Jhontoni Tarihoran (AMAN TB)

11.  Ikatan keluarga  Katolik Sumatera Utara di Jakarta (Jabodetabek)

 

Posting Komentar

0 Komentar