Meski secara resmi tidak sebutkan menganut system Adversary, dari rancangan ketentuan-ketentuan hukum acara yang baru menjadi indikator bahwa hukum acara pidana yang akan datang dapat ditempatkan sebagai instrumen keseimbangan antara keadilan prosedural disatu sisi dengan keadilan substantif disisi yang lain sebagai tujuan akhir penegakan hukum pidana guna menjaga dan menegakkan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara yang adil dan demokratis.

Pada periode tahun persidangan 2025 nampaknya DPR sedang mempersiapkan pembahasan mengenai pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), aturan prosesual penegakan hukum pidana yang selalu menjadi perhatian masyarakat. Pasca pemisahannya dari HIR (Het Indische Reglement) pada 1981 yang lalu menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, regulasi ini belum mengalami perubahan kecuali disana sini dilengkapi oleh beberapa yurisprodensi Mahkamah Agung (MA) dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengisi dan melengkapi baik materi maupun tafsir pengaturan yang didalam praktek penegakannya kurang jelas dan menimbulkan perbedaan penafsiran. Sebagai contoh, terminologi “bukti permulaan yang cukup” sebagai dasar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, diperjelas melalui Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang menafsirkan sebagai minimal telah dipenuhinya ada dua alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP.
Pembaharuan KUHAP dimaksudkan untuk melengkapi penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP baru - UU Nomor 1 Tahun 2023) yang akan diberlakukan pada tahun 2026. Karena itu, menjadi penting adanya norma yang lebih ketat dalam rangka koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses peradilan pidana yang semakin adil. Prinsip differensiasi fungsional yang selama ini dianut KUHAP selain berfungsi sebagai pembagian kewenangan antar institusi penegak hukum juga bisa ditempatkan sebagai instrumen pengawasan antar lembaga penegak hukum. Untuk itu, pula harus ada keseimbangan dalam penerapan asas dominus litis dalam penangan perkara pidana.
Dalam konteks sistem hukum Civil Law yang dianut Indonesia kejaksaan sebagai dominus litis atau pihak yang mengendalikan jalannya perkara sudah sewajarnya memiliki kendali penuh dalam proses penyidikan hingga penuntutan agar dapat menjamin keabsahan alat bukti yang akan menjadi dasar penuntutan di satu pihak. Di pihak lain menciptakan rasa keadilan bagi tersangka atau terdakwa. KUHAP sebenarnya memiliki instrumen yang menempatkan kejaksaan sebagi penuntut umum mengendalikan perkara sejak penyidikan terutama bagi perkara yang tidak atau belum selesai penyidikannya dalam waktu dua puluh hari.
Pasal 24 KUHAP misalnya memberikan kewenangan kepada kejaksaan sebagai Penuntut Umum untuk memperpanjang penahanan yang dimintakan oleh penyidik. Artinya sebelum memberikan perpanjangan Penuntut Umum memiliki kesempatan dan kewenangan untuk dapat memeriksa sejauh mana perkara pidana yang dikerjakan pada tingkat penyidikan berpeluang untuk diteruskan penuntutannya di pengadilan, terutama dari segi kelengkapan alat buktinya. Namun kedua institusi penegak hukum ini juga diberikan kewenangan untuk menghentikan proses sebuah perkara melalui lembaga penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat 2 KUHAP) dan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat 2/a KUHAP).
Meskipun ada kriteria yang terukur untuk menghentikan sebuah perkara karena urusannya keperdataan atau bukan peristiwa pidana, alat buktinya tidak cukup, atau dihentikan demi hukum akibat daluarsa, telah ada putusan perkara yang sama sebelumnya (nebis in idem) atau tersangka meninggal dunia. Tetapi tetap saja kewenangannya melekat pada otonomi dan diskresi masing-masing institusi. Di sisi lain praktek penegakan hukum juga membuktikan dengan kewenangan memulai proses dan menghentikan perkara yang terkonsentrasi pada satu institusi berpotensi terjadinya kriminalisasi atau rekayasa kasus yang justru dapat melahirkan ketidakadilan substantif.
Pengawasan terhadap Penegak Hukum
Praktek penerapan upaya paksa dalam sebuah proses perkara pidana menjadi bagian yang tidak terpisahkan (inheren) dari penegakan hukum pidana. Meski demikian selalu harus dapat diuji baik ketepatan maupun keabsahannya. Lembaga praperadilan inilah yang meski ketika awal kelahirannya melalui Pasal 77 KUHAP hanya berwenang menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan juga telah mengalami perluasan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, antara lain penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. MK menganggap KUHAP belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya. Karena itu, juga praperadilan-lah menjadi institusi yang tepat untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Progresivitas RKUHAP Baru
Dari rancangan yang beredar 17 Februari 2025 dapat dilihat beberapa ketentuan RKUHAP yang menggambarkan progresivitas yang dilandasi beberapa prinsip dasar perundang-undangan yang modern. Prinsip keadilan, transparansi, supermasi hukum (rule of law) dan partisipasi publik tergambarkan dalam beberapa ketentuannya, sehingga mengarah pada sistem peradilan pidana yang semakin adil dan demokratis. Ketentuan-ketentuan itu antara lain:
Pasal 31, berbunyi:
(1) Dalam hal seseorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh Penyidik, Penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan Bantuan Hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Advokat.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung.
(3) Rekaman kamera pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya untuk kepentingan Penyidikan dan dalam penguasaan Penyidik.
(4) Rekaman kamera pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk kepentingan Tersangka, Terdakwa, atau Penuntut Umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas permintaan Hakim.
Dari ketentuan ini tergambar bahwa di satu sisi negara dengan kewenangannya menerapkan upaya paksa menetapkan seseorang sebagai tersangka, tetapi juga disisi lain mewajibkan negara dalam hal ini penyidik memberikan informasi pendampingan oleh advokat, merekam dengan kamera pengawas yang hasil perekamannya dapat dimanfaatkan baik oleh Jaksa Penuntut dalam penuntutan maupun tersangka atau terdakwa dalam pembelaannya.
Demikian juga seperti lazimnya pada tingkat persidangan di pengadilan, pada tingkat penyidikan pun melalui ketentuan Pasal 36 ayat (1) mewajibkan Penyidik memanggil dan memeriksa Saksi yang dapat menguntungkan Tersangka (saksi ade charge) yang keterangan Saksi dicatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Perlindungan Pelapor, Pengadu dan Saksi Korban
Jika terhadap seorang Tersangka dilakukan penahanan, maka dalam waktu 1 hari setelah perintah Penahanan tersebut dijalankan, Tersangka harus mulai diperiksa oleh Penyidik (Pasal 41). Setiap pelapor, pengadu, Saksi dan/atau Korban berhak memperoleh pelindungan dan pelindungan mana berlaku pada setiap tingkat pemeriksaan. Pelindungan juga dapat dilakukan secara khusus dan tanpa batas waktu yang dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan pelindungan Saksi dan Korban (pasal 55).
Demikian pun Penuntut Umum dapat menghentikan Penuntutan karena gugurnya Kewenangan menuntut sebagaimana diatur Pasal 67 antara lain jika: (a). Penuntutan dihentikan demi hukum; (b). terdapat Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Terdakwa atas perkara yang sama (nebis in idem), (c). kedaluwarsa; (d). Terdakwa meninggal dunia; (e). ditariknya Pengaduan bagi tindak pidana aduan; (f). Terdakwa membayar maksimum pidana denda atas tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II; (g). Terdakwa membayar maksimum pidana denda kategori IV atas tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III; (h). tercapainya penyelesaian perkara melalui Mekanisme Keadilan Restoratif; atau (i). diberikannya amnesti atau abolisi.
Mekanisme Restoratif Justice
Mekanisme Keadilan Restoratif dilaksanakan melalui penyelesaian perkara di luar pengadilan. (Pasal 74) yang penyelesaian perkaranyadilakukan pada tingkat: (a). Penyelidikan; (b). Penyidikan; dan (c). Penuntutan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan ini dilakukan jika dipenuhi persyaratan (pasal 75): (a). baru pertama kali tindak pidana dilakukan; (b). telah terjadi pemulihan keadaan semula oleh pelaku tindak pidana (Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana); dan (c). telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban oleh pelaku tindak pidana. Pemulihan keadaan sebagaimana keadaan semula dilakukan melalui: (a). permaafan dari Korban dan/atau keluarganya; (b). pengembalian barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban; (c). mengganti kerugian Korban; (d). mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau (e). memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana. \
Penyelesaian perkara di luar pengadilan dilakukan tanpa paksaan, tekanan dan intimidasi (Pasal 76) melalui: (a). permohonan yang diajukan oleh pelaku tindak pidana (Tersangka, Terdakwa, Terpidana, atau keluarganya) dan/atau oleh Korban tindak pidana atau keluarganya; atau (b). penawaran dari Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim kepada Korban dan Tersangka.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak dapat dilakukan bagi beberapa tindak pidana Pasal 77) antara lain: (a). tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; (b). tindak pidana terorisme; (c). tindak pidana korupsi; (d). tindak pidana tanpa Korban; dan €. tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Meski secara resmi tidak sebutkan menganut system Adversary, dari rancangan ketentuan-ketentuan hukum acara yang baru menjadi indikator bahwa hukum acara pidana yang akan datang dapat ditempatkan sebagai instrumen keseimbangan antara keadilan prosedural disatu sisi dengan keadilan substantif disisi yang lain sebagai tujuan akhir penegakan hukum pidana guna menjaga dan menegakkan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara yang adil dan demokratis. Semoga !!!!
*) Abdul Fickar Hadjar, Pengamat Hukum, Dosen FH Universitas Trisakti 2008-2023
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
0 Komentar