Oleh Luhut M.P Pangaribuan
Ketum Peradi dan Pengajar di FHUI
Saya diminta panitia untuk berbicara (keynote speech) tentang materi sebagaimana judul, ”penyiksaan dalam peradilan pidana”. Prihatin dengan judul ini padahal ”Internasional Bill of Human Rights” sudah sejak lama menjadi bagian sistem hukum Indonesia. Seharusnya ”penyiksaan” bukan lagi kosa kata yang masih eksis dalam peradilan Indonesia. Sebab bila ”Internasional Bill of Human Rights” diindahkan dalam peradilan maka penyiksaan itu tidak akan pernah ada. KUHAP sebagai hukum acara pidana diikrarkan menganut values semua substansi dari ”Internasional Bill of Human Rights”.
Ada dua unsur (substansi) yang termaktub dalam judul ini, penyiksaan dan peradilan. Kedua unsur ini secara diametral saling bertentangan. Mengapa, jika berbicara peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu ”pengayoman” yang religius. Sebab Hakim di pengadilan ketika memeriksa dan memutus suatu perkara harus didahului dengan pernyataan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Esa.” Kemudian ketika akan menegakkan hukum dalam perkara itu, hakim akan memberikan ”Keadilan Berdasarkan Pancasila”. Dalam Pancasila itu sendiri ada pula sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” selain sila kedua ”Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Ini adalah perintah UUD45 yang dijabarkan dalam UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karena itu adanya ”penyiksaan” dalam peradilan yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi suatu hal yang tidak masuk akal. Akan tetapi hal peradilan yang tidak masuk akal itulah rupanya yang masih terjadi dalam peradilan kita dewasa ini. Karena hal tersebut, kita ada dalam forum ini.
Memang tidak berlebihan jika dikatakan bahwa peradilan Indonesia saat ini masih suatu peradilan ”yang tidak masuk akal”. Banyak faktor sebagai kausanya dan termasuk karena adanya penyiksaan itu. Kausa itu antara lain karena praktek koruptif akibat kelemahan dan atau ketiadaan sistem untuk akuntabilitas.
Karena itu, kalau dikaji lebih jauh saya yakin kita akan menemukan yang lebih dari sekedar penyiksaan. Tapi penyiksaan itu sendiri dalam bentuk verbal seperti pengancaman, pembiaran dalam proses peradilan dlsb sangat eksis. Misalnya ”overcrowding” dalam LP dan Rutan menjadi sumber penyiksaan sehari-hari. Dari pengamatan saya pribadi penyiksaan itu sendiri hanya buah dari sebab ”fruit of the poisenous tree”. Selama “pohon”nya itu tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat.
Dengan kata lain, ada masalah struktural di belakangnya yakni pola hubungan antara sub-sistem dalam sistem peradilan kita. Sebagai ilustrasi dalam RKUHAP saat ini, mekanisme restorative justice (”RJ”) sudah ada dalam rancangan untuk penyidik, penuntut-umum dan pengadilan tanpa mengetahui atau menjelaskan terlebih dahulu apa jenis ”mesin” (RJ) itu. Dengan kata lain, yang akan dibangun bukan sistem (mesin) tapi mekanisme (kekuasaan). Secara implisit peradilan Indonesia ke depan jika RKUHAP sekarang disetujui dan diundangkan akan berasaskan ”personal, parsial, subyektif dan unfair”. Karena itu harus diperbaiki secara mendasar dan bahwa KUHAP baru sudah harus ada mendampingi KUHP Januari tahun 2026 menjadi suatu pembenaran rancangan sekalipun salah.
Adanya fakta penyiksaan dalam peradilan, setidaknya itu yang dikonstatasi dalam ”HASIL INDEKSASI PUTUSAN PENGADILAN YANG MENGANDUNG DUGAAN TERJADINYA PRAKTIK KEKERASAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA INDONESIA” oleh LeIP itu. Hasil indeksasi ini juga diindikasikan oleh berbagai survey media massa, misalnya Kompas, bahwa kepuasaan terhadap peradilan masih rendah.
Pada tahun 1998, konfirmasi akan adanya penyiksaan ini juga sudah disadari pemerintah. Karena itu Indonesia meratifikasi UN Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degradding Treatment or Punishment (“CAT”) yang diterima Masyarakat Internasional sejak tahun 1975. Indonesia meratifikasinya dengan UU No 5 Tahun 1998.
Dalam pertimbangannya dinyatakan, mengapa CAT itu diratifikasi karena “Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia.” Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggungjawab menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hak ini juga akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.
Kemudian dalam penjelasan selanjutnya dinyatakan, bahwa CAT, “pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Sekarang dimanakah masalahnya dan selanjutnya apakah yang bisa dilakukan jika masalah itu ternyata ada. CAT sendiri sudah memberikan panduan, “Each State Party shall take effective legislative, aministrative, judicial…” (vide art 2). Apakah itu sudah terjadi? Dari penelitian LeIP yang disampaikan itu agaknya belum terjadi. Karena itu kemudian memberikan rekomendasi adalah sebagaimana dikutip di bawah ini.
“... bahwa masih banyak ditemukan dugaan terjadinya praktik-praktik perolehan keterangan dari saksi dan atau terdakwa dengan tindakan kekerasan. Bahkan, dari putusan-putusan yang diindeksasi, terdapat beberapa putusan pengadilan yang menyimpulkan bahwa benar terhadap saksi dan atau terdakwa terjadi kekerasan. ... Untuk itu, perlu adanya pengaturan terkait mekanisme pemeriksaan klaim adanya keterangan yang diperoleh dari tindak kekerasan. Pengaturan tersebut dapat mengacu pada Kovenan Anti Penyiksaan yang mengamanatkan agar tiap negara anggota mengambil langkah efektif, baik legislatif, administratif, judisial, atau langkah lain untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah hukumnya, di antaranya dengan mengenyampingkan bukti yang diperoleh dari hasil penyiksaan. Selain itu, pengaturan tersebut juga dapat merujuk pada ICCPR, yang menjamin bahwa bahwa seorang tersangka tidak dapat dipaksa untuk memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau untuk mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.”
Saya sependapat dengan kesimpulan dan rekomendasi LeIP ini. Karena itu ”mengambil langkah efektif, baik legislatif, administratif” harus segera dilakukan. Momentum pembaruan peradilan pidana saat ini dengan RKUHAP oleh DPR RI bisa menjadi langkah efektif itu. Penelitian LeIP ini diharapkan akan menjadi bagian pembaruan RKUHAP itu.
LMPP, 21 Maret 2025.
0 Komentar