POKOK – POKOK PIKIRAN PERADI TERHADAP
PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Pendahuluan
Pembaruan Hukum Acara Pidana merupakan kebutuhan mendesak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP yang berlaku saat ini telah berusia lebih dari empat dekade dan belum sepenuhnya mampu mengakomodasi perkembangan hukum, teknologi, serta dinamika sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu, revisi KUHAP harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Terdapat tiga masalah utama yang menyebabkan hukum acara pidana saat ini dianggap "buruk" dan membutuhkan perbaikan segera, yaitu:
1. Ketidakterpaduan dengan Konstitusi: KUHAP saat ini belum sepenuhnya memenuhi perintah UUD 1945 untuk menciptakan sistem peradilan pidana (SPP) yang terpadu. Advokat sebagai bagian dari sistem peradilan pidana harus diakui secara eksplisit dalam hukum acara agar perannya tidak lagi seperti "layang-layang putus."
2. Pilihan Model SPP yang Tidak Tepat Model: sistem peradilan pidana yang diterapkan saat ini lebih bersifat administratif dan diskresioner daripada berorientasi pada keadilan substantif. KUHAP yang baru harus mengakomodasi keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dan perlindungan hak-hak individu.
3. HAM yang Masih Bersifat Retoris: Hak asasi manusia dalam praktik hukum acara pidana sering kali hanya menjadi jargon tanpa implementasi nyata. Upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan harus tunduk pada mekanisme judicial scrutiny agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Jika ketiga aspek ini diperbaiki dengan sungguh-sungguh, diharapkan sistem peradilan pidana yang selama ini dinilai bermasalah dapat berubah menjadi lebih baik. KUHAP yang baru harus mampu memanusiakan manusia Indonesia dengan keadilan berdasarkan Pancasila.
Memilih Model Sistem Peradilan Pidana yang Berpihak pada Keadilan
Dalam menyusun model sistem peradilan pidana, pemilihan model yang tepat harus berpihak pada nilai-nilai keadilan, bukan sekadar pendekatan administratif dan diskresioner. Model yang dipilih harus diterapkan secara konsisten serta mencerminkan fungsi SPP tidak hanya sebagai instrumen pelaksanaan KUHP, tetapi juga sebagai sumber perlindungan hukum bagi masyarakat.
Dengan reformasi ini, diharapkan advokat memperoleh kepastian hukum dalam menjalankan profesinya, sementara sistem peradilan pidana menjadi lebih adil dan seimbang dalam menegakkan hukum serta melindungi hak asasi manusia.
Rekomendasi PERADI untuk Pembaruan KUHAP
Sebagai organisasi profesi advokat, PERADI memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa perubahan hukum acara pidana tidak hanya memperkuat sistem peradilan pidana tetapi juga menjamin hak-hak semua pihak yang terlibat dalam proses hukum, termasuk advokat, korban, dan tersangka/terdakwa. Oleh karena itu, PERADI mengajukan beberapa pokok pikiran penting yang harus diakomodasi dalam Pembaruan KUHAP agar pembaruan hukum acara pidana di Indonesia tidak hanya bersifat kosmetik, tetapi benar-benar menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.
1. Tentang Fungsi dan Kedudukan Advokat
Dalam reformasi hukum acara pidana, salah satu tantangan utama adalah memastikan kewenangan advokat terintegrasi dalam sistem peradilan pidana (SPP). Saat ini, sejumlah hak advokat yang telah dinormakan dalam Undang-Undang Advokat justru dibiarkan terkatung-katung tanpa keterpaduan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Akibatnya, peran advokat sebagai bagian dari sistem peradilan tidak mendapatkan kepastian hukum yang seharusnya.
Oleh karena itu, PERADI mengusulkan agar tiga aspek mendasar terkait hak advokat diakomodasi dalam revisi KUHAP guna memastikan advokat tidak lagi berstatus seperti "layang-layang putus" dalam sistem peradilan pidana. Ketiga aspek tersebut adalah:
1. Advokat sebagai Penegak Hukum: Advokat diakui sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat. Status ini harus ditegaskan dalam KUHAP sebagaimana pengakuan serupa yang diberikan kepada penyidik (Polri) dan penuntut umum (Jaksa).
2. Imunitas Profesi Advokat: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik demi kepentingan pembelaan klien di pengadilan (Pasal 16 UU Advokat). Imunitas ini harus dipastikan dalam KUHAP dengan mekanisme pemeriksaan awal oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebelum proses hukum lebih lanjut, mirip dengan prosedur penanganan pelanggaran oleh penyidik Polri.
3. Kewenangan Pembelaan Advokat: Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lain yang diperlukan untuk kepentingan pembelaan kliennya (Pasal 17 UU Advokat). Hak ini harus diakomodasi dalam KUHAP dengan menetapkan bab khusus mengenai "Kewenangan Pembelaan Advokat" sebagai bagian dari peran advokat dalam sistem peradilan pidana.
Dengan mengintegrasikan ketiga aspek ini ke dalam KUHAP yang baru, maka advokat akan menjadi bagian yang terpadu dalam sistem peradilan pidana bersama dengan aparat penegak hukum lainnya. Langkah ini bukan sekadar kebutuhan normatif, tetapi merupakan mandat konstitusi yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan hukum biasa (constitutional imperative).
Oleh karena itu, PERADI mendorong agar tiga hak fundamental ini diakomodasi dalam norma "mekanisme prosedur" dalam RUU-KUHAP.
2. Tentang Judicial Scrutiny dan Reformasi Sistem Peradilan Pidana
Selain integrasi kewenangan advokat, revisi KUHAP juga harus memastikan bahwa seluruh bentuk "upaya paksa" dalam sistem peradilan pidana tunduk pada judicial scrutiny. Saat ini, terdapat ketidakseimbangan dalam perlindungan hak asasi manusia (HAM), di mana penggeledahan memerlukan izin pengadilan (pre-factum), tetapi penetapan tersangka dan penangkapan dilakukan setelahnya (post-factum). Hal ini menimbulkan kesan bahwa harta benda lebih berharga dibandingkan hak asasi manusia.
Mekanisme praperadilan harus difungsikan secara lebih luas sebagai habeas corpus, bukan sekadar prosedur administratif. Pendekatan Habeas corpus menenkankan pada pendekatan untuk menguji apakah upaya paksa (penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan) yang diterapkan oleh aparat penegak hukum didasarkan pada alat bukti yang cukup dan sah kepada seorang tersangka. Pendekatan ini memungkinkan seorang yang mengalami upaya paksa dihadapkan ke depan pengadilan sesegera mungkin, tanpa menunggu lebih lama. Dengan demikian, praperadilan dapat memastikan keabsahan dan kecukupan bukti permulaan sebelum tindakan upaya paksa dilakukan.
Wewenang pra peradilan semestinya bukan hanya untuk menguji sah tidaknya upaya paksa dan ganti rugi. Akan tetapi dapat pula menguji keabsahan alat bukti (admissibility of evidence) yang menjadi dasar penetapan tersangka, penerapan upaya paksa, serta layak tidaknya suatu perkara pidana diperiksa dalam persidangan. Melalui lembaga pra peradilan, alat bukti yang diperoleh dengan cara yang melawan hukum termasuk melalui praktik penyiksaan harus dinyatakan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti (exclusionary rules).
Ketentuan mengenai alat bukti yang cukup dan sah perlu diatur lebih jelas dan spesifik untuk menghindari penetapan tersangka, upaya paksa, atau persidangan yang sewenangwenang.
Pra Peradilan selama ini terpisah tidak menjawab persoalan, karena posisi tersangka sudah ditetapkan lebih awal sehingga urgensinya ada pada penetapan Tersangka yang menguji dan menilai tidak hanya menjadi wewenang penyidik. Forum uji ini perlu dilakukan sebelum pemeriksaan pokok perkara.
3. Tentang Mediasi dan Penyelesaian di Luar Pengadilan
• Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana merupakan pendekatan yang lebih mengutamakan pemulihan, bukan penghukuman, dimana mediasi menjadi salah satu bentuk pendekatan ini. Namun, pendekatan ini belum memiliki payung undang-undang. Sejauh ini keadilan restoratif baru diatur oleh:
1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 08 Tahun 2021;
2) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020; dan
3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.
• Maka menjadi penting agar ketentuan mengenai keadilan restoratif perlu diakomodasi dalam revisi, yang diatur dalam bab tersendiri. Keadilan restoratif, dimana salah satunya berupa mediasi pidana (penal mediation) harus diatur dalam KUHAP sebagai hukum acara utama, tidak diatur sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi penegak hukum.
• Adapun pengaturan keadilan restoratif tersebut harus berpegang pada prinsip berikut ini:
1) Tidak semata-mata bertujuan untuk menghentikan perkara;
2) Diterapkan dalam setiap tahapan proses peradilan pidana;
3) Menghormati kesetaraan gender dan non-diskriminasi, mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan berbasis umur, latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi;
4) Memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, mulai dari pelaku, korban, maupun pihak terkait lainnya;
5) kesukarelaan, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
6) Khusus pada kasus yang melibatkan anak, penerapan keadilan restoratif harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
• Secara khusus terkait mediasi pidana sifat-sifat penting yang perlu diadopsi yaitu: partisipasi sukarela (voluntary participation), netralitas (neutrality), kerahasiaan (confidentiality), dan pemulihan kerugian. Mediasi pidana ini mengurangi biaya (costeffective).
4. Tentang Hak Korban
• Hak-hak korban tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP, karena itu perlu diatur dalam RUU KUHAP. Hak-hak korban itu meliputi:
1) Right to be informed, yaitu hak korban untuk mendapatkan informasi terkait dengan perkembangan penanganan kasusnya, termasuk setiap kemajuan penangannya, dan waktu persidangan;
2) Right to protection, yaitu hak korban dilindungi dari intimidasi, harassment, dan kekerasan yang membahayakannya;
3) Right to participation, yaitu hak korban untuk mendapatkan akses mengikuti proses persidangan, termasuk memberikan keterangan dan memberikan rekomendasi tentang hukuman;
4) Rights to restitution, yaitu hak korban untuk mendapatkan pemulihan dari kerugian yang dialaminya;
5) Right to compensation, yaitu hak korban menerima kompensasi dari dana yang disiapkan pemerintah untuk korban;
6) Right to confidentiality, yaitu hak korban untuk memperoleh kerahasiaan dan anomiti, khususnya kasus-kasus yang bersifat sensitif dan personal; dan
7) Right to support, yaitu hak korban untuk memperoleh akses terhadap bantuan seperti pendampingan hukum, counseling, dan layanan kesehatan.
• KUHAP lebih banyak mengantur tentang ganti kerugian korban salah tangkap, dan belum mengatur secara keseluruhan hak-hak korban tersebut. Menurut kami perlu ditambahkan pengaturan mengenai perlindungan hak korban ini dalam satu bab tersendiri, mulai dari pengertian korban (yang tidak dibatasi korban salah tangkap), memasukkan hak-hak korban tersebut lebih rinci, sampai dengan pengaturan mengenai dana korban (victim trust fund).
• Di dalam KUHAP saat ini, hak-hak korban dalam proses pidana tidak cukup diakomodir. Padahal secara nyata, korban merupakan pihak yang paling dirugikan dan sangat berkepentingan dalam proses tersebut.
PERADI mengusulkan rumusannya dalam RUU-KUHAP mencakup hak-hak korban, sebagai berikut :
1) Korban berhak untuk melaporkan kejahatan yang dialami dan mendapat tindak lanjut dengan segera;
2) Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman atau kekerasan atau kriminalisasi dari pelaku dan pihak lain;
3) Korban berhak mendapatkan informasi tentang proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan;
4) Korban berhak mendapatkan bantuan hukum untuk membela kepentingannya;
5) Korban berhak memberikan kesaksian di dalam dan luar persidangan secara bebas tanpa tekanan;
6) Korban berhak mendapatkan pemulihan medis, psikososial, serta ganti kerugian, rehabilitasi, dan kompensasi;
7) Korban berhak berperan aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan tuntutan pidana;
8 | Korban berhak mendapatkan rasa aman selama proses peradilan;
9) Korban berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam proses penegakan hukum pidana tanpa iskriminasi.
• Penambahan yang diusulkan tersebut diselaraskan dengan UU yang saat ini mengatur tentang hak-hak korban antara lain dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
5. Tentang Hak Tersangka/Terdakwa Memperoleh Bantuan Hukum
• Pengaturan Hak Tersangka/Terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum di dalam RUU KUHAP ditambahkan dan diatur dengan eksplisit dan tegas. Pengaturan ini meliputi Hak-hak Terdakwa, Bantuan Hukum, dan Peran serta Hak-Hak Penasihat Hukum.
• Mengenai hak-hak Tersangka/Terdakwa, RUU KUHAP harus mengatur:
1) right to remain silent, yaitu hak Tersangka/Terdakwa untuk tetap berdiam, tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penegak hukum;
2) rights to counsel, yaitu hak Tersangka/Terdakwa memilih penasihat hukumnya sendiri, berkonsultasi dengannya, dan didampingi saat pemeriksaan;
3) right to be informed of charges, yaitu hak Tersangka/Terdakwa mendapatkan informasi atas tuduhan terhadapnya;
4) right to fair trial, yaitu hak Tersangka/Terdakwa memperoleh peradilan yang fair dan imparsial;
5) rights to be free from unreasonable searches and seizures, yaitu hak Tersangka/Terdakwa bebas dari pengeledahan dan penyitaan yang sewenang-wenang;
6) undue delay, hak untuk tidak mendapatkan penundaan tanpa alasan;
7) presumption of innocent, hak untuk tidak dianggap bersalah sampai dinyatakan bersalah oleh pengadilan; dan
8) right to be treated humanely, yaitu hak Tersangka/Terdakwa diperlakukan secara wajar dan menghormati martabatnya.
• Sedangkan mengenai bantuan hukum, RUU KUHAP perlu mengatur bahwa:
1) Hak atas bantuan hukum tidak berdasarkan pada lamanya ancaman hukuman, tetapi dapat diberikan terhadap semua orang yang menjalani pemeriksaan terlepas dari status hukumnya (tersangka/terdakwa, saksi, korban);
2) Pengaturan tentang adanya kewajiban bahwa orang-orang yang terancam hukuman mati didampingi oleh advokat atau adanya bantuan hukum dalam setiap proses pemeriksaan/ peradilan pidana;
• Sementara mengenai peran penasihat hukum, RUU KUHAP perlu memasukkan ketentuan-ketentuan berikut:
1) Hak penasihat hukum untuk ditunjuk dan mendampingi saksi/tersangka/terdakwa atas pilihannya sendiri dan pada setiap waktu pemeriksaan;
2) Hak untuk menemui dan berkomunikasi dengan kliennya kapan pun diperlukan dan secara nyaman dan aman.
3) Hak untuk memberikan pembelaan yang patut, sesuai hukum dan kode etik, selama berlangsungnya proses pidana. Termasuk hak untuk mengajukan keberatan terhadap proses pemeriksaan yang melanggar hukum.
4) Hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata atas segala ucapan atau perbuatan penasehat hukum dalam rangka menjalankan tugas profesinya hak imunitas)
5) Hak memperoleh jaminan perlindungan dan rasa aman selama menjalankan tugas profesinya.
6) Hak atas informasi tentang perkembangan pemeriksaan perkara pidana serta hak atas akses terhadap bukti maupun dokumen-dokumen terkait untuk kepentingan pembelaan. Termasuk informasi tentang status kliennya.
7) Hak untuk berbicara dan berpendapat di dalam pemeriksaan atau di muka umum atas perkembangan perkara yang ditanganinya.
8) Hak atas pemeriksaan oleh dewan kehormatan profesi atas dugaan pelanggaran hukum atau etik, sebelum dilanjutkan penuntutan pidana terhadap dirinya.
6. Tentang Penyalahgunaan dan Pengawasan terhadap APH
Untuk pengawasan terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh APH, PERADI mengusulkan pokok-pokok yang perlu diatur dalam RUU-KUHAP, sebagai berikut :
• Pengawasan internal oleh APH:
▪ Mengadopsi model pemeriksaan/ interogasi berdasarkan pada “Principles on Effective Interviewing for Investigations and Information Gathering” (Mendez Principles).
▪ Mengadopsi prinsip exclusionary rules, yang mengatur pengecualian terhadap alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.
• Pengawasan eksternal:
▪ Mengatur mekanisme pengawasan yang membuka akses kepada lembagalembaga negara yang mempunyai kewenangan pengawasan.
7. Tentang Teknologi dan Digitalisasi
• Perkembangan teknologi dan digitalisasi terhadap hukum acara pidana sudah tentu memiliki pengaruh dan dalam relitasnya sudah dipraktikan dengan adanya sistem informasi peradilan, peradilan yang digelar dalam bentuk telekonferensi untuk saksi dan/ahli yang tidak bisa hadir secara offline. Namun yang perlu ditegaskan adalah pada akuntabilitasnya tidak mengabaikan hal-hal yang prinsip dari hukum acara pidana.
• Pemanfaatan teknologi informasi dalam penanganan perkara pidana dapat dilakukan dengan adanya proses bisnis segala pengiriman surat/berkas perkara/dokumen dari satu institusi ke institusi lainnya dalam sistem peradilan pidana maupun dari APH ke tersangka/terdakwa dan penasihat hukumnya secara elektronik.
• Untuk proses bisnis pengiriman/penerimaan dokumen elektronik antar institusi dalam SPP tidak memerlukan pengaturan khusus dalam KUHAP, karena KUHAP secara prinsip tidak melarang hal itu. Yang diperlukan hanyalah aturan teknis setingkat PP/Perpres yang saat ini sebenarnya tengah disusun oleh Tim SPPT TI di bawah Kementerian Polhuk HAM (saat ini Polkam).
• Pengaturan yang memungkinkan pengiriman berkas/surat/dokumen antara APH dengan Tersangka/Terdakwa dan PH perlu diatur dalam KUHAP, namun dalam KUHAP juga perlu diatur bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP. Secara kongkrit PERADI mengusulkan pokok-pokok pengaturan dalam RUU KUHAP sebagai berikut :
1) Mengatur alat bukti elektronik/ digital, termasuk bentuk dan cakupan alat bukti elektronik yang dapat disita;
2) Mengatur prosedur yang terkait dengan bukti elektronik, misalnya penggeledahan sistem elektronik, penyitaan bukti/ dokumen/informasi elektronik, penyadapan, dan sebagainya;
3) Proses pemeriksaan pada saksi, korban, tersangka yang langsung dapat dipantau dan diawasi oleh atasan penyidik, dan dengan ada rekaman audio visual.
8. Tentang Partisipasi Publik dan Transparansi
• Partisipasi publik menjadi hal yang mendasar dalam penyusunan RUU KUHAP, karena KUHAP dirumuskan untuk kepentingan publik. Dengan demikian partisipasi dan transparansi merupakan sebuah prasyarat wajib bagi DPR. Terlebih jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian formil dan materiil UU yang dibatalkan karena tidak mengakomodasi partisipasi publik dalam penyusunan RUU sehingga UU yang disahkan menjadi kehilangan legitimasinya karena minim transparansi dari para penyusunnya.
• Ini sangat diperlukan, karena KUHAP ini menyangkut kepentingan semua orang. Partisipasi publik dalam proses pembahasan revisi KUHAP ini dengan demikian menjadi parameter untuk menentukan apakah penyusunan revisi KUHAP ini sudah memenuhi kaedah “meaningfull participation” sebagaimana diamanatkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011).
• Proses pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara transparan dan membuka seluas-luasnya partisipasi publik secara bermakna, termasuk memastikan akses dokumen-dokumen resmi (perkembangan draft terbaru) yang dapat diberikan masukan.
• Memberikan kesempatan untuk penyampaian masukan dari bagi seluruh kelompok masyarakat yang terdampak terhadap pelaksanaan RUU KUHAP (organisasi masyarakat sipil, korban salah tangkap, korban tindak pidana, kelompok-kelompok yang termarjinalisasi seperti kelompok disabilitas, perempuan, dan minoritas lainnya). Proses ini juga penting untuk tidak berfokus pada kelompok masyarakat di daerah pusat-pusat (jakarta/jawa) namun juga harus dipastikan menjangkau daerahdaerah seluruh Indonesia, antara lain dengan melibatkan akademisi/universitas, organisasi advokat, organisasi masyarakat sipil yang berkedudukan di daerahdaerah.
• Setiap rapat-rapat pembahasan dan pengambilan keputusan untuk perumusan pasal maupun konsep-konsep dalam RUU KUHAP harus dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik (menggunakan teknologi livestreaming), dan tersedia catatan tertulis secara resmi terhadap seluruh proses pembahasan yang dipublikasikan (misalnya dalam bentuk memorie van toelichting).
• Secara khusus PERADI mengusulkan kepada tim perumus RUU KUHAP untuk :
1) Membuka akses dokumen rancangan UU Acara Pidana seluas-luasnya, termasuk RUU, hasil-hasil dan perkembangan pembahasan di DPR.
2) Menyediakan ruang partisipasi publik dengan beragam saluran, tidak hanya melalui RDPU, tetapi melalui berbagai saluran yang mudah diakses misalnya dengan saluran masukan berbasikan website yang mana semua masukan dapat diakses dan dibaca oleh semua pihak.
3) Membangun ruang-ruang diskusi publik untuk membangun “discourse” yang konstruktif untuk pembangunan hukum acara pidana kedepan yang lebih baik.
Diperoleh dari Sekretariat Nasional PERADI RBA.
0 Komentar