Tantangan Advokat dalam Mewujudkan Peradilan yang Berkualitas: Menanggapi Kasus Contempt of Court Dengan Pendekatan Etika dan Hukum.

 “Penegakan Hukum Terhadap Contempt of Court Dalam Mewujudkan Peradilan Berkualitas.”


 Oleh Dr. Luhut M.P Pangaribuan, SH.,LL.M 

Ketum DPN PERADI dan Pengajar di FHUI

 A. Pendahuluan. 

Dalam TOR dinyatakan bahwa ada 64% hakim pernah mengalami Contempt of Court (“CoC”)2 . Dalam hal ini, “Sikap dan tindakan yang ditujukan terhadap proses peradilan, pejabat peradilan, maupun putusan pengadilan yang ditampilkan oleh pencari keadilan, praktisi hukum, kalangan pers, organisasi sosial politik, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, serta berbagai pihak lainnya yang sedemikian rupa ditenggarai dapat dikategorisasikan mencederai martabat, keluhuran dan wibawa peradilan.” Berdasarkan data yang disinyalir TOR ini bila data ini adalah juga fakta maka tentu saja sesuatu yang sangat memprihatinkan dan tidak dapat dibenarkan. Karena itu dalam hal ini sanksi memang harus ditegakkan, terhadap siapapun termasuk Advokat. Kalau itu oleh praktisi hukum ic Advokat maka tindakan itu tidak saja melanggar etika profesi tapi juga hukum sekaligus. Advokat sama seperti 

1

 Makalah disampaikan dalam seminar Internasional IKAHI di MA pada hari Senin 25 April 2025. 2 Kasus Contempt of Court yang pertama yang disebut secara luas demikian dalam peradilan di Indonesia ialah kasus advokat Prof Dr. Adnan Buyung Nasution. Ketika itu Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution membela jenderal HR. Dharsono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1996. Sebagai Advokat yang mendampingi terdakwa, Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution menginterupsi majelis hakim ketika membacakan putusan dengan berdiri dan mikrofon sedang nyala sehingga terdengar dengan suara keras. Dalam interusi ditanyakan, ”siapa yang tidak etis? Dalam putusan yang sedang dibacakan itu memang dinyatakan Tim Advokat tidak etis pada hal justeru sebaliknya. Ini tentang saksi a de charge yang ditolak diperiksa. Sebab Tim Advokat yang sudah mengajukan supaya diperiksa Kapolres Jakarta Utara tempat ”peristiwa Tanjung Priok ” terjadi tapi ditolak tapi justru Tim Advokat dituduh tidak etis atas hal itu. Atas interupsi itu Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution kemudian Ketua Pengadilan membuat penetapan dan Menkeh melanjutkan dengan mencabut kartu Advokatnya, yang kemudian digugat secara perdata. Pada saat yang sama diajukan pengurus Ikadin Jakarta ke Dewan Kehormatan Ikadin Jakarta atas tuduhan Contempt of Court dan prosidingnya saya kompilasi dalam buku dengan judul ”Contempt of Court”, Satu Proses di Dewan Kehoramatan, terbitan Djambatan tahun 1996. 

2

warganegara lain tidak kebal hukum. Tapi apakah ada tantangannya jika itu harus dilakukan terhadap seorang Advokat dewasa ini ? Advokat sebagai profesi di peradilan, tentang ”martabat, keluruhan dan wibawa peradilan” adalah juga kewajiban profesinya untuk menjaganya. Bagaimanapun ”martabat, keluruhan dan wibawa peradilan” harus dijaga, dilindungi dan dipertahankan secara terus-menerus oleh siapapun termasuk profesi Advokat. Itu tidak hanya urusan pengadilan sendiri tapi juga oleh semua yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman in casu Advokat. Advokat yang harus bergabung dengan Organisasi Advokat (”OA”) termasuk juga mutatismutandis yang harus menghormatinya sekaligus. Advokat dan OA adalah satu-kesatuan. Oleh karena itu, lebih jauh OA by law juga ikut bertanggung-jawab memastikan agar setiap Advokat senantiasa menjaga ”martabat, keluruhan dan wibawa peradilan” itu. Advokat adalah salah satu fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Fungsi itu dijalankan Advokat dalam bentuk ”jasa hukum” dengan status ”penegak hukum” disebut litigasi di peradilan (pengadilan). Dengan demikian jika ”martabat, keluruhan dan wibawa peradilan” dicederai maka dengan sendirinya profesi Advokat juga tercederai. Itu juga substansi kode etik profesi Advokat. Karena itu jika konstatasi dalam TOR adalah fakta hukum maka dengan sendirinya profesi Advokat dan OA telah ikut juga tercederai. Seseorang yang menjadi Penasihat Hukum dalam suatu perkara di pengadilan, misalnya, tibatiba naik di atas meja, apapun alasannya, apakah itu suatu contempt of court (”CoC”) sebagaimana didefenisikan dalam TOR? Jawabannya ya. Selain CoC , bahkan perbuatan itu juga pelanggaran hukum dan pelangaran Kode Etik Advokat Indonesia (”KEAI”) sekaligus. Oleh karena itu apapun alasannya seorang penasihat hukum naik ke atas meja di sidang pengadilan adalah tidak benar dan pantas untuk dikenai sanksi; karena sekali lagi selain itu adalah pelanggaran KEAI juga pada saat yang sama adalah pelanggaran hukum sekaligus. Perilaku seperti itu bukanlah perilaku Advokat yang statusnya penegak hukum. Apalagi mengklaim jabatan Advokat itu officium nobile. Sekali lagi kepada ybs tepat jika dikenakan sanksi terberat, disbar (pembekuan BAS). Mengapa sanksinya disbar? Singkatnya karena perilaku dan atau tindakan seperti itu tidak sesuai dengan KEAI. Dalam UU No 18 Tahun 2023 Tentang Advokat (”UU Advokat”) sudah mengatur bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat harus ”berpegang pada kode etik 

profesi dan peraturan perundang-undangan” (vide ps 14,15 UU Advokat). Kemudian, dalam KEAI telah ditegaskan bahwa adalah kepribadian advokat ”...dalam menjalankan tugasnya menjungjung tinggi hukum, UUD45, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatan” (vide KEAI ps 2). Selain itu , ”Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak...” (vide ps 3 butir h KEAI). Selanjutnya, dalam cara bertindak menangani perkara antara lain KEAI menekankan Advokat memang bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan...dalam sidang pengadilan...yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan...” (vide ps 7 butir g KEAI). Menyampaikan protes dari atas meja bukanlah cara proporsional dan apapun alasannya cara menyampaikan protes dengan naik ke atas meja itu berkelebihan. Selain itu melangggar sumpah jabatan Advokat antara lain yang sudah dinyatakan ”...akan menjaga tingkah laku...dan menjalankan kewajiban..sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggungjawab...sebagai Advokat” (vide ps 4 UU Advokat). Tentu saja jika ada kemarahan atau keberatan apapun, setiap Advokat harus taat pada UU Advokat, KEAI dan Sumpah Jabatan. Ketiga instrumen UU Advokat, KEAI dan Sumpah Jabatan adalah parameter utama untuk menilai apakah dalam menjalankan jabatannya sebagai Advokat ybs telah bertindak dan atau berperilaku sesuai standar profesi atau tidak. Organ dalam OA yang melakukan penilaian atas pelanggaran ketiga isntrumen itu ialah Dewan Kehormatan Advokat (DK). Dalam setiap OA seharusnya ada DK, baik tingkat pertama (DKD dan juga tingkat banding dan terakhir (DKP). Apabila Advokat telah dinyatakan melanggar KEAI itu oleh DK dan dikenai sanksi misalnya disbar maka pengurus OA harus mengeksekusi tindakan (sanksi) DK itu. Adapun jenis tindakan yang dapat dikenakan DK OA terhadap Advokat sebagaimana digambarkan di atas ialah (a) teguran lisan, (b) teguran tertulis, (c) pemberhrntian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 bulan, (d) pemberhentian tetap dari profesinya (vide ps 7 UU Advokat). Secara prosedural ybs memang harus diajukan dulu ke DK, apakah melalui Komwas atau langsung dengan pengaduan ke Dewan Kehormatan (vide bab III jo bab IX UU Advokat). Terakhir setelah adanya putusan DK, OA baru melaksanankan putusan DK itu termasuk pemecatan. 

B. Advokat Adalah Fungsi Yang Berkaitan Dengan Kekuasaan Kehakiman Tapi 

Dibiarkan Seperti “Layang-Layang Putus“.

Pertanyaannya apakah Penasihat Hukum yang tiba-tiba naik ke atas meja dan berteriak-teriak itu sungguh seorang Advokat menurut UU Advokat ? Pertanyaan ini bisa dilihat secara umum dan khusus. Secara umum ini memang menjadi pertanyaan, apakah setiap OA yang mengangkat Advokat telah melaksanakan proses rekrutmen Advokat sesuai dengan persyaratan UU Advokat. Pertanyaan ini belum ada jawban sampai sekarang dan perlu segera jawaban itu ditemukan. Secara khusus, sejauh ini belum ada verifikasi pada Advokat ybs, Advokat yang naik ke atas meja, mulai pra-syarat untuk diangkat jadi Advokat seperti “ijazah Pendidikan tinggi hukum” yang dimiliki sampai dengan proses pengangkatan menjadi Advokat itu sendiri yakni telah melalui proses mulai dari PKPA, Magang dan UPA. Masalahnya tidak ada satu otorotas yang mempunyai kewenangan melakukan, apakah ybs sudah memenuhi pra-syaratnya dan ybs telah melalaluinya sebagaimana seharusnya menurut UU Advokat. Kenyataannya dewasa ini banyak menjadi Advokat dan praktek Advokat di peradilan sekarang tanpa melalui proses itu. Termasuk didalamnya pensiunan dari berbagai K/L pemerintahan yang kemudian menjadi Advokat. Dalam proses seleksi di OA yang saya pimpin, PERADI sudah ada standarisasi rekrutmen Advokat. Rekrutmen ini dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen. Standar rekrutmen itu meliputi selain soal kompetensi dan integritas juga etika profesi mendapatkan proporsi yang banyak dalam kurikulum PKPA. Pertanyaannya apakah ybs salah satu diantaranya yang tidak mengikuti proses sebagaimana saya sinyalir di atas itu, yakni mengikuti proses sebagaimana seharusnya sehingga UU Advokat, KEAI dan Sumpah Jabatan tidak diindahkan ? Pertanyaannya ini relevan dengan keadaan dan situasi aktual OA sekarang ini. Keadaan Advokat saat ini saya menyebutnya dibiarkan seperti ”layang-layang putus”. Advokat seperti tidak bertuan dalam sistem peradilan yaitu ”tidak berstatus penegak hukum” dalam sistem peradilan. Pada hal seharusnya sub-sistem dalam peradilan terpadu sebagaimana aturannya dalam UU Kekuasaan kehakiman. Akibatnya banyak ekses yang terjadi termasuk efektivitas OA untuk mengawasi dan mengadili Advokat yang tidak taat pada UU Advokat, KEAI dan Sumpah Jabatannya. Ini paradoks dimana menjadi Advokat pada saat yang sama sudah 

menjadi tujuan akhir semua sarjana hukum termasuk sebelumnya APH. Dengan Advokat sudah menjadi tujuan akhir, seharusnya pembiaran Advokat seperti layang-layang putus ini perlu menjadi perhatian dan jangan dibiarkan. Dibutuhkan langkah-langkah konkrit khususnya bantuan dari supra-struktur in casu MA. Ketika berbicara profesi Advokat maka harus selalu satu tarikan dengan OA. Sebab semua Advokat harus menjadi anggota OA dan OA adalah yang punya ”mandat” mengawasi dan mengadili jika ada dugaan pelanggaran KEAI. Tapi masalahnya OA sekarang setidaknya ada 50 organisasi Advokat3 . Semua OA itu diterima PT mempunyai kewenangan mengajukan sumpah Advokat sekalipun kemungkinan persyaratannya sebagai OA belum terpenuhi. Dengan demikian terjadilah pengangkatan dan penyumpahan Advokat;sekalipun ybs tidak memenuhi syarat UU Advokat. Dengan sudah memiliki KTA dan BAS ( 2 dokumen ini diperlukan praktek di pengadilan) sekalipun sesungguhnya ybs tidak pernah memenuhi syarat untuk diangkat sebagai Advokat, berpraktek sebagai Advokat di pengadilan. Dan terjadilah sesuatu yang tidak masuk akal, aneh, memprotes dengan naik ke atas meja dlsb. Ini permasalahan mendasar OA saat ini sehingga perlu sekali lagi perhatian khususnya dari MA sebagai Supra Sruktur. Advokat sendiri terus menerus berusaha mencari jalan keluar. Sebagi respon temporer atas permasalahan itu, atas usul antara lain PERADI yang saya pimpin, Kemenkopolhukam dalam pokok-pokok percepatan reformasi hukum sudah pernah membuat konsep solutif yakni agar dibentuk Dewan Advokat Nasional (“DAN”).4 Inti dari konsep DAN ini ialah biarkan OA banyak asal standar profesinya tetap tunggal (single). Sebab banyaknya OA itu tidak selalu akan jadi masalah asalkan standarnya sama atau satu. 5 Dewan Kehormatan setiap OA bersatu (merger) adalah satu wujud konkrit dari DAN itu. Kami menyebutnya Dewan Kehormatan Pusat Bersama (”DKPB”). Apabila DKPB ini sudah terbentuk maka jika penasihat hukum yang naik ke atas meja di pengadilan itu ditindak salah satu OA 

3 Kontatasi Kantor Kemenkopolhukam dalam dokumenpercepatan reformasi hukum 2024. 

4 Dalam butir 27 Rekomendasi Kemenkopolhukam itu menyatakan sbb: ”Pembentukan Dewan Advokat Nasional untuk standarisasi profesi advokat dan penegakan etik. Diundangkannya Perpres untuk menguatkan pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan pembentukan lembaga semacam Dewan Advokat Nasional yang memiliki kewenangan untuk: (a) verifikasi organisasi advokat; (b) membentuk dewan kehormatan bersama; (c) standarisasi kurikulum pendidikan dan ujian. Untuk pertama kali DAN ditetapkan oleh Perpres dan diisi oleh tokoh masyarakat, akademisi dan advokat senior. Maret 2024” 5 Setidaknya ada 2 buku yang saya terbitkan untuk mendukung gagasan ini yaitu (1) Advokat, Organisasi Advokat dan Kedudukannya Dalam Kekuasaan Kehakiman, Penerbit Papas Sinar Sinanti Jakarta, 2021 dan (2) Single Bar, Standar Profesi Yang Tunggal, Penerbit Papas Sinar Sinanti Jakarta, 2022. 

6

maka tidak bisa ybs loncat lagi ke OA lainnya. Karena putusan DKPB itu bersifat final and binding. Advokat bisa loncat OA adalah memang masalah paling krusial dewasa ini. Dengan kata lain efektivitas penegakan KEAI menjadi nihil. Tapi sayang DKBP ini belum terwujud melalui Kemenkopolhukam sampai sekarang antara lain karena perubahan pimpinan di Kemenpolhukam, Prof Dr. Mahfud MD telah diganti. Akan tetapi PERADI yang saya pimpin dengan beberapa OA lainnya masih tetap berusaha mewujudkan DKPB ini. Karena itu tetap profesi Advokat dewasa ini seperti ”layang-layang putus.” Apa maksudnya ? maksudnya ialah dalam perspektif kekuasaan negara berdasarkan UUD45 seharusnya Advokat tidak boleh lepas dari salah satu cabang kekuasaan negara itu yaitu kekuasaan kehakiman (”MA”). Oleh sebab itu dalam literatur selalu dikatakan untuk menjaga independent of the judiciary senantiasa diperlukan profesi Advokat yang bebas dan mandiri. Keduanya selalu satu tarikan untuk chek and balances dalam mencapai keadilan yang akuntabel. Karena itu sekalipun profesi Advokat independen sama dengan kekuasaan kehakiman itu, Advokat sebagai organisasi (“OA”) yang disebut bar association dikualifikasi oleh MK sebagai auxiliary independent state organ. Karena kewenangan OA mempunyai effect civil seperti pengangkatan advokat untuk seseorang admitted to bar yang kemudian berpraktek dengan status sebagai penegak hukum dalam peradilan (vide ps 2 ayat (2) jo ps 5 ayat (1) UU Advokat), memberikan legal opinion (“LO”) yang merupakan bagian prasyarat ketika misalnya emisi saham di Pasar Modal dlsb. Karena itu di beberapa negara, OA diwujudkan dalam bentuk law society yang digunakan antara lain sebagai qualifying board, atau menyususn standar profesisebagaimana kosep DAN yang direncanakan kantor Menkopolhukam itu, yang sekarang kami lanjutkan dalam bentuk DKPB. Misalnya di Malaysia ketua MA ex-officio menjadi chair-person untuk Malaysia Law Society dengan anggota Rektor Perguruan Tinggi dan Presiden Bar Association. Secara paralel, sesunguhnya pengalaman yang sama sudah pernah dipraktekkan juga di Indonesia. Peradilan zaman kolonial. Praktek ini sebagaimana yang diatur dalam RO; Advokat satu kesatuan dalam pengaturannya dengan penegak hukum lainnya termasuk pengadilan (hakim). Apakah setelah hampir seratus tahun peradilan kita termasuk Advokat didalamnya tidak bisa lebih maju dari RO itu? Jawabannya jelas seharusnya sudah lebih maju dari RO itu. 

Pengaturan sebagaimana yang pernah dilakukan dalam RO ini adalah konsep yang sejalan dengan maksud UUD 45 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (”UU Kekuasaan Kehakiman”) yaitu peradilan itu harus “terpadu”. Selain terpadu dengan MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman itu juga dengan fungsi lainnya yaitu ”fungsi lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu penyidik (Polisi), Penuntut Umum (Jaksa), jasa hukum (Advokat) dll (vide ps 38 ayat (2) UU 48 tahun 1999). Karena itu, secara konseptual kalau ada UU Omnibuslaw Cipta Keadilan sangat normatif sesuai maksud pasal 38 ayat (2) UU No 48 Tahun 1999 (UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam UU No 48 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman (”UU Kekuasaan Kehakiman”) konsiderans butir b telah dinyatakan bahwa ”bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu.” Jadi sesungguhnya UUD45 mengkehendaki adanya peradilan yang terpadu itu. Karena UU Kekuasaan Kehakiman ini adalah UU organik atau pelaksanaan langsung dari pasal-pasal 20, 21, 24, 24A, 24B,24C dan 24 UUD45. Dengan kata lain, peradilan terpadu itu adalah constitutional imperatives. Tapi peradilan terpadu ini sampai sekarang belum pernah terwujud karena semua sibuk dengan UU sektoralnya. Atau politik hukum masih mengarah pada jurusan lain. Ini adalah kausa terbesar dalam masalah peradilan kita sampai saat ini, tidak saja tentang fenomena CoC oleh Advokat tapi juga tentang peradilan ”merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa” atau anti-korupsi. Karena itu MA diharapkan sekali sebagai supra struktur kekuasaan kehakiman perlu turun tangan sesuai konsep UU kekuasaan kehakiman itu agar profesi Advokat juga tidak dibiarkan secara berkelanjutan sebagai ”layang-layang putus” dan ikut berpartisipasi dalam mewujudkan peradilan ”merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa”. Membentuk sistem peradilan terpadu adalah melaksanakan maksud UUD45 itu. 

C. Peradilan dan Peraturan-Peraturan Materil Tentang CoC. 

Sejauh ini pengaturan agar peradilan terjaga dan hormat sesuai sifat dan hakekatnya sudah diatur dalam hukum. Dengan kata lain telah cukup diberikan perlindungan secara hukum dan tinggal dilaksanakan. Perundang-undangan yang materinya berkaitan dengan CoC itu antara lain ditemukan dalam, (1) UU Mahkamah Agung, KUHAP, (2) KUHP dan KUHP Baru, (3) 

Peraturan Mahkamah Agung (“Perma”) No 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Peradilan. Secara konkrit, dengan melaksanakan perundangundangan ini saja maka maksud dan tujuan agar pengadilan tetap terjaga dan tidak ”mencederai martabat, keluhuran dan wibawa peradilan” sudah bisa dicapai. Dengan kata lain tinggal penegakannya saja secar konkrit. Pertama-tama, dalam butir ke 4 Alinea 2 Penjelasan Umum UU Mahkamah Agung menyatakan bahwa “... untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court." Pertanyaannya apakah secara materil atas aturan-aturan yang sudah ada sejauh ini yang substantif mengatur sebagaimana diharapkan "Contempt of Court" dalam ketentuan ini masih tetap diperlukan undang-undang khusus ? Dalam Pasal 217 KUHAP diatur bahwa ”Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan. Kemudian, segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat”. Selanjutnya dalam Pasal 218 KUHAP diatur bahwa “dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan; siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang”. Tidak berhenti sampai disitu, “Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud di atas bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.” Pada saat yang sama hukum pidana mendukung tata tertib sidang itu sebagaimana telah diatur dalam KUHAP itu, baik dalam KUHP maupun KUHP Baru. Dalam pasal 207 KUHP dinyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan dan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Paralel dengan pasal 216 ayat (1) KUHP mengatur bahwa “Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang 

oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Bahkan dalam Pasal 217 KUHP secara eksplisit merujuk pada sidang pengadilan yaitu “Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.” Dalam KUHPBaru yaitu UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru akan mulai berlaku tahun 2026 juga sudah mengatur yang substansinya tentang CoC. Dalam Pasal 279 diatur bahwa “Setiap Orang yang membuat gaduh di dekat Ruang sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 (tiga) kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. kemudian, “Setiap Orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 (tiga) kali oleh atau atas nama hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Selain itu, dalam pasal 280 KUHPBaru dinyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung, tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan dan bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim; menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan; atau tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses persidangan secara langsung. Ini adalah suatu tindak pidana tapi hanya dapat dituntut berdasarkan aduan”. Dalam penjelasan Pasal 280 itu dinyatakan bahwa ”Yang dimaksud dengan "tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk proses peradilan" adalah melakukan hal-hal untuk menentang perintah tersebut dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum.

 10 

Kemudian ”Yang dimaksud dengan "bersikap tidak hormat" adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan, atau tidak menaati tata tertib pengadilan.” sementara itu ”Yang dimaksud dengan "menyerang integritas" termasuk menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur.” dan ”Yang dimaksud dengan "memublikasikan proses persidangan secara langsung" yaitu live streaming.” Dengan demikian dapat disimpulkan baik hukum acara pidana maupun hukum pidana sudah tersedia aturang yang lebih dari cukup untuk ”menjamin terciptanya suasana yang sebaikbaiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, ... yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang secara substantif dikenal sebagai "Contempt of Court." Dengan demikian tinggal dilaksanakan saja secara konkrit. 

C. Penutup: Catatan-Catatan Kesimpulan. 

Sebagai penutup disampaikan sebagai catatan kesimpulan bahwa dewasa ini diakui ada gejala Advokat tidak profesional. Maksudnya potensi melakukan CoC. Dan keadaan OA dimana Advokat ybs menjadi anggota pengawasannya tidak dapat efektif karena OA dibiarkan seperti layang-layang putus. Karena tidak ada suatu standar yang satu (single). Sejauh ini sudah memang sudah ada ketentuan yang dapat digunakan untuk menindak jika ada CoC dan tinggal bagaimana efektivitasnya. Internal OA ada permasalahan sehingga kewenangannya menindak efektifitasnya rendah. Karena itu perhatian khusus dari supra struktur dalam hal ini Kekuasaan Kehakiman yaitu MA, bagaimana penguatan OA ini perlu secara hukum menjadi perhatiannya. Konkritnya untuk terbentuknya DKPB OAI segera yang sedang diusahakan PERADI dan OAI lainnya. Tugas penguatan oleh MA ini sejalan dengan amanat UUD45 mewujudkan peradilan terpadu. Dalam peradilan terpadu itu, akan ada tempat untu OA nanti sehingga tidak berjalan seperti layang-layang putus. Dengan adanya keterpaduan peradilan itu efektifitas pengawasan OA terhadap dugaan adanya CoC akan bisa diandalkan. Advokat tidak profesional dan potensial melakukan CoC; maksudanya Advokat melanggar KEAI, Sumpah Jabatan, UU Advokat dan perundang-undang lannya. Dalam hal ini artinya OA tidak mampu menjaga nobility anggotanya agar senantiasa hormat pada hukum dan 

11

 pengadilan. Apabila ada pelanggaran akan hal itu sesungguhnya dari segi hukum telah dimungkinkan kena tindakan berupa sanski dari yang ringan sampai dengan pemberhentian sebagai Advokat (disbar). Namun diakui adalah kenyataan efektifitas penindakan ini lemah karena OA tidak bersatu atau disatukan. Advokat yang kena sanksi dapat pindah dengan mudah ke OA lainnya dapat berpraktek artinya sanksi dapat dihindari dengan mudah. Dalam situasi yang demikian, karena Advokat (OA) adalah sebagai bagian kekuasaan kehakiman diuraikan di atas maka diharapkan ada semacam ”uluran tangan” dari MA. Uluran tangan ini bisa dalam berbagai bentuk tapi setidaknya dalam bentuk pengarahan dari MA untuk fasilitasi atau dukungan konkrit dapat bersatunya OA ini dalam satu DKP melengkapi KEAI yang sudah satu untuk semua OA. Secara konkrit usaha pembentukan DKPB yang sedang diusahakan yang sama maksudnya dengan DAN dalam konsep Kantor Menkopolhukam. Usaha mewujudkan DKPB ini masih sedang berjalan sebagai konsep temporer mengatasi masalahmasalah akibat belum bersatunya OA setidaknya dalam satu standar yang tunggal. Praktek Advokat yang kurang mendukung ”martabat, keluruhan dan wibawa peradilan secara praktis ada hubungannya dengan tiada ”keterpaduan” dalam kekuasaan kehakiman itu. Dalam waktu dekta, harapannya DK OA bersatu dalam konsep DKPB (DAN) yang mirip sebagaimana dipraktekkan di Malaysia dimana ketua MA secara ex-officio menjadi chairperson. Dengan demikian bila hal itu terwujud maka bisa diharapkan akan adanya saling mendukung secara timbal balik akan peradilan yang senantiasa bersih dan berwibawa. Dan yang lebih penting lagi tidak akan ada lagi out of the blue ada Advokat berteriak-teriak di pengadilan dan naik ke atas meja. Sekali lagi, MA sebagai supra struktur dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dimana Advokat adalah fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman karena itu sungguh perlu turun tangan cito atas masalah OA dewasa ini. Itu bukanlah suatu intervensi atas independensi profesi Advokat tapi konkritisasi peradilan terpadu sesuai konsep dalam UU kekuasaan kehakiman dan UUD45.*** 

LMPP Jakarta, April 2025

Posting Komentar

0 Komentar