Banjir Harta Ke Luar Indonesia

 Kegundahan Hati Prabowo Subianto

Dikutip dari Buku

“Gagasan Strategis Prabowo Subianto

STRATEGI TRANSFORMASI BANGSA

MENUJU INDONESIA EMAS 2045

INDONESIA MENJADI NEGARA MAJU DAN MAKMUR”.


Pengantar: 

Mengamati derap langkah Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI periode 2024-2029, perlu disimak gagasannya yang telah dibukukan Tahun 2023 cetakan-4 (hal 73-83), sebelum beliau terpilih menjadi Presiden RI (masih sebagai Menteri Pertahanan).

Berikut pemaparannya dengan judul:



("Imperialism Tua vs Modern Kapitalisme

Tatkala modern kapitalisme ini sudah dewasa, maka modal kelebihannya alias surplus kapitalnya lalu ingin masukkan ke Indonesia - modern imperialisme lalu menjelma di muka ini, menggantikan imperialisme tua yang juga sudah tua bangka.

Cara pengambilan rezeki dengan jalan monopoli dan paksa  makin lama makin diganti cara pengambilan rezeki dengan jalan persaingan merdeka dan buruh merdeka.

Cara pengambilan berubah, sistemnya berubah, wataknya berubah, tetapi banyakkah perubahan bagi rakyat Indonesia? Banjir harta keluar Indonesia bukan semakin surut , tetapi malahan semakin besar, drainage Indonesia malahan makin makan.

"Mencapai Indonesia Merdeka"

Ir. Sukarno, Maret 1933".


Kekayaan Kita Untuk Siapa?


Taksiran Keuntungan Belanda Dari  Menjajah Indonesia Periode 1878-1941 (63 tahun):

54 Miliar Gulden, atau Rp. 5.147 triliun sampai dengan Rp. 66.559 triliun.


Ketika kita membuka buku sejarah Indonesia, kita sering membaca “kekayaan  Indonesia diambil penjajah”. Tetapi, jarang kita membaca ulasan berapa banyak kekayaan Indonesia yang diambil oleh bangsa penjajah.

Peneliti dari Chulangkon University menaksir. Dengan membuka catatan resmi Pemerintah Belanda tahun 1878 sampai tahun 1941 soal keuntungan ekspor dari Indonesia, tabungan orang Belanda di Indonesia serta anggaran Belanda untuk menjajah Indonesia, keuntungan Belanda pada periode 1878-1941 adalah 54 miliar Gulden. Pada waktu itu, jumlah ini setara dengan $ 22 miliar.

Tergantung cara konversi yang digunakan, $ 22 miliar pada waktu itu setara dengan $398 miliar atau Rp. 5.174 triliun sampai $5.123 miliar atau Rp. 66.599 triliun uang sekarang. Walau jumlah itu besar, angka sebenarnya pasti lebih tinggi karena  banyak perdagangan yang tidak tercatat oleh Pemerintah Belanda. Angka ini juga belum menghitung mengalir keluarnya kekayaan Indonesia di periode penjajahan sebelum tahun 1878.


Ketidakadilaan Ekonomi


Berhubungan erat dengan tantangan besar utama yang dialami oleh ekonomi kita, yaitu mengalir keluarnya kekayaan Indonesia ke luar  negeri, adalah satu keadaan yang kita dapat sebut sebagai ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi inilah yang menyebabkan rakyat  kita masih terlalu banyak hidup dalam keadaan miskin, dan keadaan susah.

Menurut data BPS, gross ratio pendapatan warga Indonesia di tahun 2020 adalah 0,38%. 1 % orang terkaya mendapatkan 38% pendapatan Republik Indonesia. Menurut riset Lembaga keuangan Credit Suisse, di tahun 2021 angka gini ratio warga Indonesia mencapai 0,36. 1 % orang terkaya menguasai 36 % kekayaan.

0,36 adalah ketimpangan kekayaan yang besar. Ketimpangan yang berbahaya, Ketidakadilan ekonomi ini jika dipantik dengan tepat dapat memicu konflik sosial, huru hara dan perang saudara yang berkepanjangan.

Gini ratio atau rasio gini adalah indikator utama kesenjangan kekayaan di satu negara. Angka rasio gini 0,36 artinya adalah 1 % dari populasi terkaya Indonesia memiliki 36 % kekayaan Indonesia.

Jika populasi Indonesia ada 270 juta jiwa, artinya 36 % kekayaan Indonesia dimiliki oleh 2,7 juta orang saja, 64 % sisanya dibagi 267,3 juta jiwa.

Bahkan, baru-baru ada yang menghitung, harta kekayaan dari empat orang terkaya di Indonesia ternyata lebih besar dari harta 100 juta orang termiskin di Indonesia.

Angka gini ratio untuk kepemilikan tanah lebih mengkhawatirkan lagi. Lebih mengkhawatirkan, karena bagi saya kekayaan yang hakiki adalah kepemilikan tanah.

Data yang diungkapkan oleh Menteri ATR/BPN di 2020, gini ratio kepemilikan tanah kita  tahun 2020 mencapai 0,67. Artinya, 1 % populasi terkaya di Indonesia, 2,6 juta orang, memiliki 67 % tanah Indonesia. Harus diakui angka ini sudah lebih baik dari sebelumnya karena akhir-akhir ini Pemerintah gencar membagikan sertiifikat tanah.

Coba tanyakan ke keluarga dan kerabat saudara. Siapa diantara mereka yang memiliki tanah? Apakah saudara sendiri memiliki tanah? Ataukah saudara menyewa tanah tempat saudara saat ini tinggal? Apakah petani-petani kita masih memiliki tanah sendiri? Kalau iya, berapa rata-rata luas tanah yang mereka miliki? Apakah meningkat, atau menurun dibandingkan dengan 10, 20, 30 tahun yang lalu?

Data tahun 2020 dari Kementan, ada 35 juta orang Indonesia yang berprofesi sebagai petani.

Namun lebih dari 75 % petani, atau lebih dari 28 juta petani tidak punya lahan sendiri. Yang memiliki lahan sendiri hanya 9 juta petani, itupun luas tanahnya kecil-kecil.

Saat ini sudah lebih dari 76 % populasi Indonesia memiliki akses ke internet. Karena banyak dari 1 % populasi kaya Indonesia yang mengumbar kekayaan di media sosial, ini artinya lebih dari ¾ populasi kita bisa melihat secara gambling ketimpangan kekayaan yang terjadi di Indonesia.

Ketika masih banyak rakyat susah makan, susah hidup layak, bahkan digusur dari rumahnya sendiri, rakyat bisa dengan mudah melihat ada kelompok kecil di Indonesia yang hidup mewah dan berlebih.

Berbicara tentang ketimpangan, saya ingin mengutip buku tulisan Niall Ferguson, judulnya The Great Degeneration.

Dalam buku ini, yang ditulis sebelum  pandemic COVID 19, Niall mewawancara seribu pelaku ekonomi, CEO dan perusahaan-perusahaan besar  di dunia. Kepada mereka, dia menanyakan, “menurut Anda. Apa ancaman terhadap ekonomi dunia, terutama emerging market/ negara berkembang?”

Mereka, seribu pelaku ekonomi menjawab:

1. Inflasi

2. Pecahnya investasi asset

3. Koruppsi

4. Radikalisasi

5. Bencana alam.

6. dan pandemic penyakit seperti SARS


Sebagai contoh, kita bisa lihat dengan instabilitas politik, pertumbuhan ekonomi Myanmar dan Afganistan tersendat. Jika ada ketidakjelasan politik, sistem ekonomi tidak berjalan dengan baik.

Niall Ferguson ini seorang ahli Sejarah. Selain menanyakan pandangan para pelaku ekonomi, dia juga menanyakan pandangan para ahli sejarah. 


Para ahli sejarah yang ia wawancara mengatakan.


“Kalau semua yang dikatakan tadi ada, ditambah lagi kalau jumlah penduduk sebagian besar suatu negara adalah orang muda  usia 18 sampai 30 tahun, dan jika harga pangan naik, ancamannya adalah revolusi, huru-hara, perang saudara.”

Niall mencatat, “ini sedang terjadi di Timur Tangah.” Menurutnya apa yang disebut sebagai Arab Spring itu terjadi karena ada hal-hal ini. Instabilitas yang terjadi di Timur Tengah adalah akibat dari fakor-faktor itu semua.

Menurut saya, kita harus bertanya kepada diri kita. Faktor-faktor ini, elemen-elemen  ini ada tidak di Republik Indonesia saat ini?

Sekarang, kalau saja disetiap desa ada 10 anak putus sekolah, yang usianya antara 15 sampai 22 tahun. Kalau ada anak 10 anak di satu desa, dan punya 80.000 desa. Sepuluh kali 80.000 artinya ada 800.000 pemuda yang tidak mengerti dia harus bikin apa. Dia kasihan melihat ibunya, bapaknya. Di beberapa tempat dia mencari kayu untuk hidup. Dia juga ngarit rumput untuk bantu ternak ibunya. Tetapi penghasilannya sangat minim. Pada usia yang sangat produktif, mereka hasus punya cita-cita, punya harapan, ini kan suatu yang rawan. Mereka bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang punya maksud-maksud yang tidak baik.

Inilah sebabnya, saya katakan kita harus waspada.

Sejarah megajarkan kepada kita bahwa huru-hara, revolusi dan perang saudara dapat dipicu oleh 7 hal:

1. Inflasi

2. Harga pangan naik

3. Ledakan penduduk

4. Pengangguran meningkat

5. Disparitas penghasilan

6. Radikalisme ideologi, dan 

7. Korupsi.


Hampir semuanya sekarang ada di Republik Indonesia, Karena gini ratio kita sekarang 0,36, jika ada pemantik yang tepat, Indonesia dapat terjerumus dalam huru-hara, revolusi dan perang saudara yang berkepanjangan.

Kita harus waspada.***


(Bachtiar Sitanggang).


Posting Komentar

0 Komentar