Pelibatan Militer di Ranah Sipil : Perspektif Hukum Progresif

KORAN PELITA

Penulis
 Redaktur 3
 -

Oleh : Abdul Fickar Hadjar (Pengamat Hukum, Pengajar FH Univ Trisakti 2008-2023)

Baru saja perubahan terbaru Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU-TNI) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perubahan dan pengesahan yang terhitung cepat meskipun RUU ini tidak termasuk dalam daftar 41 RUU yang masuk daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025 (https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-41-ruu-yang-masuk-prolegnas-prioritas-2025-lt673c52dc1bcb0/).

Meski pembahasan ini dilakukan dibantah Menteri Hukum bukan permintaan Presiden melainkan atas inisiatif DPR sendiri, namun menjadi pertanyaan besar mengapa RUU Perubahan ini tidak masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2025 ?

Pembahasan RUU TNI dimulai 18 Februari 2025 dimana DPR telah menerima surat Presiden Prabowo Subianto tertanggal 13 Februari 2025 tentang penunjukan wakil pemerintah membahas dan persetujuan RUU TNI. Komisi I DPR menerima surat dari pimpinan DPR 18 Februari 2025 perihal penugasan untuk membahas RUU TNI. Rapat internal Komisi I DPR 27 Februari 2025 sepakat membentuk panja dengan komposisi 23 anggota. Dilanjutkan rapat pembahasan RUU oleh panitia kerja (Panja) yang menurut Ketua Panja Utut Adianto telah melibatkan pemangku kepentingan dan peran aktif masyarakat sebagai bagian pemenuhan partisipasi public secara bermakna (meaningful participation) sebagaimana dimandatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya pelibatan masyarakat untuk didengar, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan yang dilaksanakan dalam dengar pendapat umum (RDPU) pada tanggal 3, 4, 10, dan 18 Maret 2025 kemarin untuk sudah diparipurnakan dan disahkan.

Ada 3 substansi perubahan UU TNI yang disepakati dan disahkan DPR. Pertama, kedudukan TNI, Pasal 7 mengatur masalah Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu menambah cakupan tugas pokok TNI dari 14 menjadi 16. Dan 2 tugas yang ditambahkan mengenai pertahanan siber dan melindungi serta menyelamatkan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri. Kedua, penempatan TNI pada kementerian/lembaga atau jabatan sipil dari 10 kementerian dan lembaga yang bisa diduduki prajurit militer aktif ditambah jumlahnya menjadi 14, dengan ketentuan didasarkan kepada permintaan pimpinan kementerian/lembaga yang bersangkutan. Selain 14 kementerian/lembaga itu, maka prajurit TNI bisa menduduki jabatan sipil tetapi harus mundur atau pension lebih dahulu dari dinas kemiliteran. Ketiga, mengubah Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang pengaturan masa dinas keprajuritan, yaitu mengenai batas usia pensiun yang bersifat variatif, tergantung pangkat dan jabatan anggota TNI, yaitu Bintara dan tamtama: 55 tahun, Perwira hingga pangkat kolonel: 58 tahun, Perwira tinggi bintang 1: 60 tahun Perwira tinggi bintang 2: 61 tahun, Perwira tinggi bintang 3: 62 tahun dan Perwira tinggi bintang 4: 63 tahun yang dapat diperpanjang dua kali sesuai kebutuhan dengan Keputusan Presiden.

Dari isi substansi perubahan itu menimbulkan polemic dikhotomi peran sipil militer dalam pemerintahan, dan polemic ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman bangsa Indonesia pada masa lalu, yaitu pada masa dwifungsi ABRI pada pemerintahan ORDE BARU. Bahkan terjadi penolakan melalui petisi oleh kelompok dan komunitas dalam masyarakat . Persoalannya perubahan UU TNI telah menambah peran TNI aktif dari 10 menjadi 14 Kementrian dan Lembaga telah sesuai dengan hukum progresif ? Tulisan ini mencoba melihat persoalan dari berbagai perspektif kepentingan masyarakat dan diharapkan akan menjadi jelas sejauh mana manfaat dan mudhorotnya bagi kehidupan bernegara di Indonesia.

Peran TNI di ranah sipil

Pasal 47 Ayat (1) UU No.34 Tahun 2004 mengatur para prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Sepuluh kementerian dan lembaga itu adalah: Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Lembaga Sandi Negara, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Narkotika (BNN) dan Mahkamah Agung. Setelah perubahan justru bertambah menjadi 14 antara lain pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Diluar kementrian lembaga dan badan sebagaimana diatur dalam UU TNI yang baru, maka seorang prajurit TNI harus mengundurkan diri dari kedinasan militernya.

Militer Indonesia yang terbentuk oleh kesadaran rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara, kekhawatiran terjadinya berbagai masalah negara dan disentegrasi bangsa mendorong militer untuk berperan dalam bidang politik, di samping menjalankan fungsi utamanya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan. Peranan militer pada zaman ini didasarkan pada penerapan “konsep dwifungsi” oleh AH Nasution. Konsep ini berkembang semakin luas pada masa Orde Baru, yang bertujuan mendukung militer dalam politik sebagai dinamisator dan stabilisator serta mengawasi kinerja sipil dalam menjalankan pemerintahan

Peranan militer dalam politik Indonesia pada masa Orde Baru, realitasnya tidak hanya untuk kepentingan bangsa dan negara saja, sebab peran yang dilaksanakan tersebut justru banyak dilakukan untuk kepentingan kelompok dan penguasa Orde Baru yang didasarkan pada kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan konsep dwifungsi ABRI sebagai pencapaian tujuan nasional yang dicanangkan, yaitu pembangunan dan kestabilan nasional di segala bidang. Konsekwensi dari sikap itu, pemerintah menempatkan militer sebagai patner terpenting dalam pemerintahan. Peranan militer yang semakin luas dalam politik, mau tidak mau menimbulkan dampak sosial politik, ekonomi, dan penurunan tingkat profesionalitas militer. Akhirnya peranan militer dalam politik yang dilatarbelakangi oleh faktor ekternal (kondisi politik, sosial, ekonomi, dan terancamnya kedudukan militer) dan faktor internal (ideologi nasional militer, disiplin militer, modernisasi, dan kepentingan elit militer), keterlibatan militer dalam politik yang bertujuan memperbaiki institusi politik dan mengatasi berbagai persoalan negara yang mengancam kedaulatan nasional.yang dikenal dengan istilah dwifungsi ABRI justru berkembang semakin luas, situasi inilah yang pada akhirnya menstimulasi lahirnya gerakan pembaharuan dalam masyarakat dan kemudian melahirkan Era Reformasi pada 1998.

Dalam konteks nasional peranan tentara, Indonesia perlu menemukan keseimbangan antara disatu sisi memperkuat peran TNI dalam menjaga stabilitas negara dan disisi lain mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi serta kontrol sipil terhadap profesionalisme militer. Jika peran militer terlalu luas dalam urusan sosial dan politik, dikhawatirkan akan terjadi konsolidasi dan konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar di tangan militer, yang pada akhirnya dapat menggiring negara kembali ke arah otoritarianisme.

Di sisi yang lain, jika peran tentara terlalu dibatasi, negara juga sangat mungkin dapat kehilangan kemampuan untuk merespons krisis dengan efektif, terutama ketika institusi sipil terbukti tidak mampu mengatasi masalah besar. Karena itu kehadiran TNI dalam sektor sosial politik perlu dilihat secara hati-hati, dengan penekanan pada transparansi, akuntabilitas, dan pemisahan yang jelas antara peran militer dan sipil.

Pengawasan yang ketat terhadap implementasi kebijakan itu sangat diperlukan agar militer tetap berfokus pada tugas-tugasnya yang tidak mengganggu jalannya demokrasi dan tidak merugikan hak asasi manusia.

Kacamata Hukum Progresif

Kebijakan tentang keterlibatan militer di ranah sipil sudah menjadi hukum positif, regulasi ini akan menjadi dasar peranan militer di ranah pemerintahan dalam pengelolaan negara kedepan. Yang masih dapat dijadikan wacana pembahasan adalah sejauh mana kebijakan ini sesuai dengan perkembangan hukum progresif ? Wacana ini akan tetap menjadi relevan sejauh profesionalisme dalam menjalankan prinsip prinsip tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance) selalu menjadi acuan pemerintahan modern.

Hukum progresif sebagai konsepsi telah berkembang sedemikian rupa sejak Prof. Satjipto Rahardjo menggagasnya yang didasari pada keprihatinan terhadap kontribusi rendah ilmu hukum di Indonesia untuk mencerahkan kehidupan bangsa untuk keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum.

Konsepsi ini meletakan hukum untuk tidak terbelenggu pada rumusan undang-undang saja, seorang hakim misalnya harus berani mencari dan memberikan keadilan dalam memutus perkara dengan mengenyampingkanu UU, dimana realitasnya tak selamanya UU itu bersifat adil. Hukum progresif memandang bahwa hukum itu untuk manusia, hukum untuk membahagiakan manusia, hukum untuk mengabdi kepentingan manusia. Bukan sebaliknya manusia untuk hukum.

Dalam perspektif ini sudahkah UU TNI sejalan dengan perkembangan hukum progresif ini? Dari sudut kepentingan tentu saja akan tergantung meletakan perspektifnya, jika TNI diletakan sebagai bagian dari kelompok manusia Indonesia yang sama-sama hadir bersama kelompok sipil dalam haribaan Indonesia, maka tidak ada pertentangan apapun kehadiran UU TNI ini, tetapi jika UU-TNI yang melegalisasi kehadiran militer di ranah sipil ditempatkan sebagai sebuah kelompok dalam masyarakat besar manusia Indonesia, maka akan nampak tidak sejalan dengan pengertian hukum progresif.

Kehadiran UU TNI sewajarnya ditujukan bagi kepentingan seluruh manusia Indonesia, karena itu menjadi tugas bersama untuk membangun dan mengembangkan republic tercinta Indonesia yang modern berdasarkan hukum dan demokratis sesuai bidang keahlian dan kemampuan masing-masing. Viva Indonesia………!!!

Posting Komentar

0 Komentar