Jeritan Hati Prabowo Subianto
Dikutip dari Buku
“Gagasan Strategis Prabowo Subianto
INDONESIA MENJADI NEGARA MAJU DAN MAKMUR”.
Pengantar:
Mengamati derap langkah Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI periode 2024-2029, perlu disimak gagasannya yang telah dibukukan Tahun 2023 cetakan ke-4 (hal. 57-64) , sebelum beliau terpilih menjadi Presiden RI (ketika itu sebagai Menteri Pertahanan).
Berikut pemaparannya dengan judul:
Tantangan Terbatasnya Waktu Keluar dari Midle Income Trap
Net Outflow of National Wealth.
Penyakit paling mendesak dari tubuh ekonomi Indonesia saat ini adalah mengalir keluarnya kekayaan nasional dari wilayah Indonesia. Terlalu besar hasil dari ekonomi Indonesia yang disimpan dan dimanfaatkan di luar negeri.
Uang bagi suatu negara, kekayaan bagi suatu bangsa, adalah sama dengan darah. Saat ini tubuh bangsa Indonesia berdarah dan ternyata berdarahnya sudah puluhan tahun.
Jika kita hitung sejak zaman penjajahan, maka sudah ratusan tahun ekonomi kita berdarah.
Saudara yang mengikuti pemikiran saya sejak lama tentu mengetahui bahwa sudah bertahun-tahun tahun saya sampaikan, kekayaan Indonesia mengalir ke luar Indonesia. Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia.
Ini artinya, kita semua, seluruh bangsa Indonesia, saat ini sedang kerja rodi. Kita sedang kerja bakti untuk orang lain. Kita bekerja keras, di Indonesia, untuk memperkaya bangsa lain. Kita seperti indekos di rumah sendiri.
Dulu saat VOC menguasai ekonomi Indonesia, mengalirnya kekayaan kita ke luar begitu nyata terlihat dan dan oleh karenanya dipersoalkan oleh Generasi ’45 yang mendahului kita. VOC menjadi perusahaan dengan nilai tertinggi dalam sejarah ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia pada waktu itu luar biasa tinggi, PDB wilayah Indonesia mungkin salah satu tertinggi di dunia, tapi keseluruhan hasilnya disimpan di bank-bank Belanda.
Kondisi yang sekarang memang lebih sulit terlihat, pada hal hampir serupa. Karena itu banyak dari kita tidak menyadari hal ini. Bagi sedikit yang mengetahui, mereka diam atau menyerah kepada keadaan. Sebagian lagi menjadi agen penyalur kekayaan kita yang mengalir ke luar.
Ada beberapa indikator ekonomi yang dapat kita jadikan acuan untuk melihat bagaimana kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri.
Yang pertama, adalah neraca perdagangan kita, terutama kepemilikan dari Perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor.
Yang kedua, data simpanan di bank-bank luar negeri yang merupakan milik Perusahaan dan Perusahaan Indonesia, serta Perusahaan asing yang mengambil untung di Indonesia dan menempatkan keuntungannya di luar Indonesia.
Saya mulai menyimak tabel neraca ekspor-impor Indonesia tahun 1997. Pada saat itu saya sedang berada di Yordania, dan saya ingin mengetahui bagaimana sebenarnya situasi ekonomi kita. Ternyata, sekarang, kalau kita lihat neraca ekpor-impor Indonesia dari tahun 1977 ke tahun 2014, selama 17 tahun, total nilai ekpor kita mencapai angka USD 1,9 triliun dan mengalami surplus atau keuntungan perdagangan. Kurang lebih Rp. 26.600 triliun jika menggunakan kurs Rp. 14.000. Ini cukup besar.
Namun perlu kita ingat, ini adalah angka yang tercatat dalam dokumen ekspor, belum tentu sama nilai ekspor yang sebenarnya. Berdasarkan pengalaman banyak pelaku ekspor yang berdiskusi dengan saya, dan hasil penelitian Lembaga riset yang kredibel, angka ini bisa keliru 20%, bisa 30%, bahkan 40%.
Lembaga riset Global Integrity menaksir kebocoran ekspor akibat trade misinvoicing atau kesalahan dalam pembukuan nilai dan volume ekspor, mencapai USD 38,5 miliar di 2016, setara Rp. 540 triliun atau 13,7% dari total perdagangan.
Selama kurun waktu 2004 hingga 2013, total kebocoran akibat “kesalahan” ini mencapai USD 167,7 miliar – atau jika kita gunakan kurs USD 1 + Rp. 14.000,- sama dengan Rp. 2.300 triliun.
Selain itu setelah saya menyeliidiki, banyak uang hasil keuntungan kita tidak tinggal di dalam negeri. Karena itu, saya tidak begitu kaget Ketika Menteri Keuangan pada Agustus 2016 mengatakan bahwa ada Rp. 11.400 triliun uang milik pengusaha dan Perusahaan Indonesia yang parkir di luar negeri. Jumlah Rp. 11.400 triliun ini 5 x lebih besar dari APBN kita saat ini, dan kurang lebih sama dengan pendapatan domestik bruto (PDB) kita.
Selain adanya ekspor yang tidak dilaporkan atau salah dilaporkan oleh pengusaha kita, Sebagian besar keuntungan ekspor Indonesia masuk ke Perusahaan-perusahaan asing dengan rekening di luar negeri. Ini terjadi karena sebagian besar dari nilai ekspor kita dikuasai oleh Perusahaan-perusahaan asing yang memiliki perusahaan di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan ini menjual hasil Indonesia. Mereka menggunakan jalan, Pelabuhan, dan keringat orang Indonesia. Tetapi Ketika mereka mendapatkan keuntungan, mereka tidak menyimpan keuntungan mereka di Indonesia. Selain itu ada juga pengusaha-pengusaha Indonesia yang melakukan ekspor, dan melakukan usaha di Indonesia, yang setelah untung, malah ikutan menyimpan dan memindahkan Sebagian keuntungan mereka ke luar negeri.
Ini masalah besar untuk bangsa kita. Jika uang ini tidak tinggal di Indonesia, maka uang itu tidak dapat digunakan untuk membangun Indonesia. Bank-bank di Indonesia tidak punya cukup uang untuk memberikan kredit yang bisa membangkitkan ekonomi kita. Tidak terjadi multiplier effect yang bisa mengembangkan gairah ekonomi Indonesia.
Apakah ini masalah yang baru? Jika kita lihat mundur ke belakang, ternyata mengalirnya kekayaan Indonesia ke luar negeri telah terjadi selama ratusan tahun. Ini adalah masalah sistemik yang yang perlu kita ketahui dan hadapi.
Kalau kita mundur ke belakang tahun 1950, kecuali di tengah pergolakan-pergolakan, ekspor impor Indonesia tetap untung. Tetapi untungnya untuk siapa?
Kalau kita buka pidato Bung Karno, “Indonesia Menggugat”, dan kita pelajari, beliau bicara persis sama. Hanya saya pakai angka dollar AS dan Rupiah, beliau pakai Gulden.
Intinya adalah mengalirnya kekayaan kita ke luar negeri.
Beliau menulis:
Bahwasanya, Indonesia bagi imperialisme adalah suatu surga yang di seluruh dunia tidal ada lawannya. Tidak ada bandingan kenikmatannya.
Kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin keras bertiup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai gemuruh tentara menang yang yang masuk kedalam kota yang kalah, maka sesudah Undang Undang Agraria dan Undang Undang Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik Staten-General di Negeri Belanda, masuklah modal partikelir itu di Indonesia, mengadakan pabrik-pabbrik gula di mana-mana, kebun-kebun teh, onderneming-onderneming tembakau dan sebagainya ditambah lagi modal partikelir yang membuka macam-macam perusahaan kereta api, trem, kapal atau pabrik-pabrik yang lain.
Bagi rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanya perubahan cara pengedukan rezeki, Bagi rakyat Indonesia imperialisme-tua dan imperialisme-modern kedua-duanya tinggal imperialisme belaka, kedua-duanya tinggal pengangkutan rezeki Indonesia keluar, kedua-duanya tinggal drainase!”
Kemarin saya baca sebuah penelitian yang membuka catatan resmi Pemerintah Belanda tahun 1878 sampai 1941 soal keuntungan ekspor Indonesia, tabungan orang Belanda di Indonesia serta anggaran Belanda untuk menjajah Indonesia.
Penelitian ini menemukan keuntungan Belanda selama 63 tahun adalah 54 miliar Gulden. Jumlaah ini pada waktu itu sama dengan USD 22 miliar. USD 22 miliar waktu itu, jika disetarakan dengan uang sekarang, kira-kira sama dengan USD 398 miliar, atau sampai USD 5.123 miliar. USD 5.123 miliar itu artinya Rp. 66.599 triliun.
Mengalirnya kekayaan kita ke luar negeri atau capital outflow inillah yang dipermasalahkan Bung Karno. Saya, Prabowo Subianto, yang bukan sarjana ekonomi, menyebut fenomena ini ”net outflow of national wealth”. Mengalir ke luarnya kekayaan nasional dalam jumlah yang keterlaluan.
Saya pernah ditanya, bagaimana dengan mata uang Republik Indonesia yang lemah? Bagaimana dengan harga-harga bahan pokok yang tidak menentu? Jawabnya sebetulnya sangat sederhana, tapi mungkin banhyak elit Indonesia dan banyak pakar ekonomi Indonesia tidak mau sampaikan kepada rakyat.
Saya sudah katakan berkali-kali bahwa kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia. Inilah masalah utama kita.
Kita mengijinkan kekayaan kita mengalir ke luar negara kita. Kalau begini, bagaimana ekonomi kita kuat? Bagaimana harga-harga cukup memadai untuk rakyat kita, kalau kekayaan kita mmengalir ke luar?
Maaf kalua Prabowo Subianto bicara seperti ini. Ada yang bilang pada Prabowo, “Pak Prabowo, mbok bicara yang baik-baik saja.” Ada yang mengatakan, “Pak Prabowo, jangan bicara terlalu keras. Bicara yang halus-halus saja”.
Selama 15 tahun terakhir, setiap saya ada kesempatan untuk memaparkan data-data, saya tanyakan kepada mereka menyimak. “Kalian mau saya bicara baik-baik, atau saya bicara apa adanya? Kalian mau saya halus, baik-baik, tapi kenyataannya tidak baik, atau saya bicara apa adanya saudara-saudara sekalian?
Mereka menjawab: “bicara apa adanya saja Pak Prabowo”.
Menurut saya sudah terlalu lama elite Indonesia tidak menyampaikan apa yang terjadi. Tidak terbuka kepada rakyat, tidak terbuka kepada bangsa.
Kenapa orang kecil semakin terjepit? Kenapa di Indonesia yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Kenapa petani tidak senyum kalau panen? Bagaimana bisa di negara yang sudah 75 tahun merdeka, masih ada guru honorer yang hanya terima Rp. 200.000,- sebulan?
Walaupun sekarang sudah ada bantuan langsung dari Pemerintah Pusat dan Sebagian Pemerintah Daerah, kesejahteraan guru masih jauh dari layak.***
Bagaimana bisa?
(Bachtiar Sitanggang)
Bersambung…
0 Komentar