Jeritan Hati Prabowo Subianto
Dikutip dari Buku
“Gagasan Strategis Prabowo Subianto
INDONESIA MENJADI NEGARA MAJU DAN MAKMUR”.
Pengantar:
Mengamati derap langkah Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI periode 2024-2029, perlu disimak gagasannya yang telah dibukukan Tahun 2023 Cetakan ke-4 (Hal 64-72), sebelum beliau terpilih menjadi Presiden RI (masih sebagai Menteri Pertahanan).
Berikut pemaparannya dengan judul:
Tantangan Terbatasnya Waktu Keluar dari Midle Income Trap
Net Outflow of National Wealth
Sambungan……
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa, sebagian besar hasil keuntungan kita sebagai bangsa mengalir ke luar negeri, tetapi elite diam saja? Belasan ribu triliun Rupiah uang yang seharusnya ada di Indonesia parkir di luar negeri, dan elit Indonesia tidak berjuang keras untuk mengembalikannya ke dalam negeri?
Pahit memang yang saya katakan. Tetapi kalau setiap tahun ada net outflow kekayaan nasionnal kita ke luar, saya kira kita sebagai negara tidak perlu punya rencana pembangunan jangka Panjang. Kita tidak perlu rencana pembangunan karena rakyat kita tidak akan menikmati. Uang ini adalah sangat-sangat vital bagi pembangunan masa depan bangsa kita. Bngsa kita tidak bisa lagi kehilangan kekayaan yang seharusnya bisa berputar di dalam negeri tiap tahun.
Jika kita biarkan kekayaan kita terus mengalir ke luar negeri, artinya kita menerima bahwa kita sebagai bangsa dipelihara sebagai pasar dan sebagai buruh oleh sistem kapitalisme global.
Bumi kita dipakai, air kita dipakai, rakyat kita dipakai sebagai buruh, demi memperkaya bangsa lain. Kita diatur menjadi pasar, menjadi konsumen dari produk dan jasa yang dibuat oleh bangsa lain.
Kita penuh retorika. Rakyat kita, pemimpin kita bernyanyi “Indonesia Raya”, “Maju tak gentar”, tapi kesejahteraan kita jalan di tempat. Kita terus miskin. Kita terjerumus dalam middle income trap, perangkap pendapatan tingkat menengah.
Kita hidup di tengah kekayaan sumber alam, tetapi kita miskin. Negara dengan tiga perempat laut tetapi mengimpor ikan, mengimpor garam, mengimpor singkong, dan mengimpor daging.
Yang saya heran, kenapa kalau kita bicara “mengimpor daging” mengimpor singkong” banyak orang tertawa? Saya tidak mengerti. Seharusnya kita menangis.
Tapi kata orang, ambang batas penderitaan bangsa Indonesia tinggi sekali. Jadi, kalau kaki kita diinjak, orang Indonesia tidak teriak-teriak karena sifat bangsa Indonesia memang baik, nrimo. “Monggo, silahkan injak kaki saya. Silahkan perdaya saya dan ambil kekayaan saya.”
Karena inilah, menurut saya negara kita saat ini berada di persimpangan jalan yang sangat-sangat penting.
Darah kita sudah diambil puluhan tahun. Tubuh bangsa Indonesia ini sudah selayaknya masuk IGD.
“Bocornya” uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun bangsa Indonesia, dan kebocoran tabungan nasional dari keuntungan perdagangan kita, kebocoran pendapatan pajak nasional dan tax ratio kita yang begitu rendah, dan kebocoran dari korupsi penerimaan dan anggaran belanja nasional yang jika dijumlah bisa mencapai angka Rp. 2.800 triliun setiap tahun menurut kajian Litbang KPK, dan banyak hitungan kredibel lainnya, ini harus segera kita hentikan.
Saat ini, kita juga kehilangan uang ke luar negeri dan membeli barang-barang produksi luar negeri, yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri oleh putera puteri Indonesia. Bahkan, ada yang mengatakan kita sudah kecanduan barang impor.
Hal ini bisa kita lihat dari apa yang kita gunakan sehari-hari, dari kita bangun tidur sampai kita tidur lagi.
Dari manakah bahan baku mi instan yang kita konsumsi? Hampir 100 % bahan baku mi instan kita dari gandum yang diproduksi negara-negara barat, yang kita impor dengan jumlah 10 juta ton setiap tahun.
Dari manakah nasi yang kita santap? Mobil yang kita kendarai? Handphone yang kita bawa? Baja yang digunakan untuk membangun rumah kita?
Produksi asing atau Indonesia? Jika produksinya di Indonesia, perusahaannya milik asing atau milik nasional?
Coba renungkan.
Sebagai contoh, pada tahun 2019 lalu, kita sebagai bangsa membeli kurang lebih 6,4 juta motor. Kemudian pada tahun yang sama kita membeli kurang lebih 1 juta mobil. Dari semua mobil yang dibeli oleh bangsa Indonesia, tidak ada satupun milik perusahaan nasional Indonesia. Ini artinya, kita “mengirim” uang ke negara lain setiap kali kita membeli mobil atau motor.
Benar, sebagian dari merek mobil dan motor yang kita beli di Indonesia memiliki pabrik di Indonesia. Benar, ongkos produksinya mungkin masih dinikmati oleh orang Indonesia yang menjadi buruh pabrik, tetapi keuntungannya tidak tinggal di Indonesia. Setelah membayar buruh pabrik kita, sales dan teknisi di ribuan toko yang juga orang kita, listrik kita, dan membayar pajak, Sebagian besar keuntungan bersih penjualannya tetap mengalir ke luar negeri.
Situasi ini tercermin dari neraca pendapatan primer kita. Neraca pendapatan primer merekam besarnya aliran uang ke luar negeri hasil investasi asing, berupa pendapatan ekuitas, pendapatan bunga, dan pendapatan investasi lain.
Saat ini neraca pendapatan primer kita defisit, dan sudah defisit lebih dari 10 tahun. Defisitnya cukup besar – pada tahun 2019 lalu mencapai USD 73 miliar atau sekitar Rp. 1.022 triliun. Rata-rata 2012-2019 berkisar antara defisit USD 11 miliar hingga USD 142 miliar.
Pada tahun 2020, neraca pendapatan primer kita mendapat tekanan begitu berat karena pandemic COVID 19. Melonjak tajam ke angka USD 640 miliar - dollar setara minus Rp. 9.300 triliun.
Malaysia, yang jumlah penduduknya kurang lebih sepersepuluh jumlah penduduk Indonesia, belasan tahun lalu sudah berani membikin mobil nasional. Sekarang kita sudah buka pasar kita. Kita telah menjadi bagian dari ASEAN Economic Community, masyarakat ekonomi ASEAN. Kita harus buka Pelabuhan kita untuk kapal-kapal yang membawa produksi negara tetangga kita. Barang mereka telah dan akan terus masuk.
Saya bukan mengatakan kita harus anti investasi asing, tidak.
Tapi kalau semua produksi di Indonesia bergantung pada investasi asing, kita akan celaka. Rupiah kita akan terus lemah. Seorang ekonom Indonesia baru-baru ini menemukan, setiap USD 1 miliar investasi asing yang tertanam di Indonesia dalam satu tahun (2010 – 2014) mengakibatkan USD 12 miliar keuntungan mengalir ke luar negeri.
Saya sering mendengar dan menyaksikan, kita selalu di"brainwash", dicuci otak. “Oh, produksi sendiri dengan merek sendiri tidak efisien.”
Tapi kok, Korea Selatan yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dari kita, bisa efisien, sedangkan kita tidak bisa efisien? Berarti apa? Saya menyimpulkan, berarti kita dididik oleh banyak pemimpin kita untuk menyerah sebelum berjuang.
Kita diprogram, otak kita di-brainwash, bahwa kita ini memang kalah dari bangsa lain. Kita semuanya, termasuk anak-anak kita, walaupun kita sering tidak mengakui, kita di bawah sadar merasa rendah diri, minderwaardigheidscomplex. Begitu lihat orang asing kita hormat dan kagum. Begitu berhadapan dengan merek asing, menyerah.
Ini masalah Indonesia. Ini masalah kita. Menteri-Menteri kita, dan banyak pemimpin kita dari dulu mengatakan, “oh, jangan, Indonesia tidak perlu bikin mobil sendiri.” Pada hal, per satu mobil kalau kita hitung, untungnya bisa lebih dari 2.000 dollar per mobil. Katakanlah 1.000 dollar per mobil. Berarti kalau satu juta mobil setahun, kita kiirim uang ke luar negeri USD 1 miliar setahun.
Kalau motor, keuntungannya 10% dari ongkos produksi per unit. Katakanlah, untung 100 dollar per unit. 100 dollar dikalikan 6 juta unit, artinya USD 600 juta. Artinya kita kirim setiap tahun USD 1,6 miliar ke luar negeri. Bisa lebih dari Rp. 20 triliun kita kirim tiap tahun karena seluruhnya mobil dan motor yang kita beli di Indonesia adalaah merek asing, dan milik asing.
Sekarang dunia sudah mulai beralih ke mobil, motor dan bus listrik, Indonesia memiliki cadangan nikel yang cukup banyak. Nikel dibutuhkan untuk salah satu komponen utama dari mobil, motor dan bus listrik: Baterai. Sebagai negara penghasil nikel, kita harus mengolah nikel kita menjadi barang jadi. Jangan kita ekspor nikel kita secara mentah begitu saja untuk dinikmati negara-negara lain.
Sekali lagi saya tidak mengatakan kita perlu boikot barang asing, tidak.
Tetapi, yang saya harapkan adalah kalau ada satu juta mobil yang dibeli oleh rakyat Indonesia setiap tahun, masa kita tidak mampu membuat dan merebut 10% saja dari pasar kita sendiri? Seratus ribu mobil. Masa tidak ada sih, pemimpin bangsa Indonesia, jika didukung pemerintah, yang berani mengatakan. “kita buat 100.000 mobil istrik nasional milik negara?”
Indikator yang lain menunjukkan mengalirnya kekayaan kita ke luar negeri adalah jumlah simpanan di bank-bank luar negeri yang milik orang Indonesia.
Jumlahnya dalam persentase memang relative sedikit, hanya sekian persen dari uang yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Namun jumlahnya dalam angka riil cukup besar, dan data ini telah kita ketahui karena diungkap oleh Pemerintah.
Menurut Kementerian Keuangan, pada akhir tahun 2016 ada Rp. 11,000 triliun kekayaan orang Indonesia yang disimpan di bank-bank di luar negeri.
Mengingat APBN atau anggaran belanja negara kita saat ini hanya Rp. 2.000 triliun, jumlah ini lebih dari 5 kali APBN kita.
Padahal, jumlah yang lebih dari 5 kali lipat anggaran negara kita ada di luar negeri ini, jika ada di dalam negeri, bisa disalurkan oleh ban-bank Indonesia untuk membiayai usaha-usaha Indonesia. Bisa disalurkan untuk membangun infrastuktur, dan menjadikan BUMN-BUMN Indonesia perusahaan-perusahaan kelas dunia.
Indikator lain yang cukup miris bagi saya, adalah besarnya aset bank-bank di negeri tetangga, sebagai contoh, di Singapura, dibandingkan dengan bank-bank terbesar Indonesia.
Jumlah penduduk Singapura 50 kali lebih sedikit dari kita. Besar ekonomi Singapura yang USD 372 miliar di tahun 2019 juga 3 kali lebih kecil dari ekonomi kita yang mencapai USD 1.119 miliar di tahun yang sama.
Namun bank terbesar mereka bisa 5 kali lebih besar dari bank terbesar di Indonesia, Bank Rakyat Indonesia(BRI). Pada tahun 2020, jumlah asset under management BRI hanya USD 101 miliar. Sedangkan angka yang sama untuk DBS adalah USD 451 miliar, untuk OCBC USD 365 miliar dan untuk UOB USD 300 miliar.
Total jumlah asset di tiga bank terbesar Singapura mencapai USD 1.116 miliar. Sedangkan total asset tiga bank terbesar Indonesia: BRI, Mandiri dan BCA hanya USD 263 miliar atau hanya 23 % dari yang dikuasai oleh tiga bank terbesar Indonesia. Padahal ekonomi kita 3 kali lebih besar dari Singapura.
Siapa sajakah sebenarnya pemilik terbesar dari uang yang disimpan di bank-bank Singapura? Apakah benar, orang Singapura sedemikian jauh lebih kaya dari orang Indonesia? Ternyata, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reuters, setidaknya USD 200 miliar adalah milik orang Indonesia. Dengan kurs USD = Rp. 14.000,- ini artinya ada Rp. 2.800 triliun uang hasil ekonomi Indonesia yang parkir di Singapura.
Indikator ini, ditambah neraca ekspor-impor kita dari cadangan devisa kita, mengindikasikan kekayaan kita tidak tinggal di Republik Indonesia.***
(Bachtiar Sitanggang).
0 Komentar